Gelas -Sebuah Refleksi Emosi-

Sebuah gelas diam membisu di hadapanku. Sama seperti keadaanku. Diam membisu, sengaja menutup mulut. aku menyentuhnya perlahan. Menggoyang-goyangkan setengah air teh yang tak lagi hangat. Tanganku masih ingin memegangnya, tapi ada dorongan lain yang mencoba menggerakkanku untuk berbuat yang lebih.

"Banting saja aku!" kata gelas itu. "Biar mereka tahu, kau tidak suka pembicaraan ini. Mulut mereka akan berhenti berucap karena terkalahkan oleh suara tubuhku yang remuk"

Aku tetap membeku mendengarnya. Membeku karena dadaku mengeras. Ingin sekali aku meluapkannya ke tangan yang memegang gelas itu. Aku menimang-nimangnya, kemudian... Aku meletakknya kembali ke meja.

Aku diam kaku, berharap Profesor Agasha datang membawakanku headset penyaring suara galau, atau tiba-tiba diculik alien dan dibuang ke negeri antah berantah, agar aku tak lagi mendengarkan pembicaraan ini.


"Hei, apa yang kau tunggu? Cepat banting saja tubuhku ke pintu!" Lagi-lagi gelas itu membujuk. Aku heran, kenapa dia rela menyerahkan dirinya dihancurkan olehku?. Ah, gelas ini sedang galau rupanya dan mencoba bunuh diri.

Aku tetap tak peduli. Sama seperti ketidakpedulianku pada tatapan mereka. Yeah, aku tersangka utama sekaligus korban disini. Mengeja air mata yang masih berhasil terbendung di kubangan mata. Taukah kalian siapa aku ini dan mengapa semua ini bisa terjadi? Karena aku bodoh dan bosan. Itu saja. Jadi, ketika kalian mengorek lebih dalam siapa yang paling bersalah dan siapa anggota yang lain (yang juga bersalah), akulah orangnya dan akulah pelaku tunggal kasus ini.

Ah, mana kalian peduli, karena kalian hanya menganggapku sebagai korban. Mencari penyelesaian yang sama sekali tidak aku harapkan. Mencari kambing hitam dan menyalahkan keadaan bukan menyelesaikan masalah, karena pokok masalah hanya padaku.

Aku hanya bosan dengan segala birokrasi rumit itu. Membuatku terombang-ambing, terbuang, tersiakan oleh kegagalan. Yeah, aku mudah menyerah, tapi tak sepenuhnya menyerah. Aku bertahan meski tak ada yang kulakukan. Aku kebingungan meski tak paham apa yang aku bingungkan.
Benar-benar kegalauan yang nyata.

Gelas coklat dengan air teh setengah tubuhnya itu diam. Menatap bersalah ke arahku dan ke arah mereka satu persatu. Mungkin jika dia bisa menggerakkan tubuhnya, dia akan menumpahkan isinya ke kepalaku yang tak bosan-bosan berpikir tentang kegagalan.

Aku hanya bisa tersenyum gila. Aku hanya melakukan apa yang aku sukai, mengejar mimpi-mimpiku sendiri yang masih mampu aku kejar, dan bukan mimpi-mimpi mereka.
Ya, hari-hariku kemarin memang dianggap tak berguna. Tapi aku sangat menikmatinya.

Aku mengambil gelas coklat bening itu. Meneguk semua isinya dan membiarkannya termandikan oleh air kehidupan di wastafel perubahan.