Warna Itu

Adakalanya aku harus memutuskan sesuatu yang aku anggap sebagai langkah awal menapak pelajaran baru dalam hidup. Seperti halnya saat aku mulai menjejak pada perkenalan dengan sebuah komunitas penulis. Apa aku penulis? tidak, cuma suka saja. Dan memang ke'suka'an ini pun harus dikandangkan dengan tepat.

Aku mengikuti perkumpulan penulis ini sekian lama hingga bosan karena tak ada follow up seperti yang aku harapkan. Abu-abu. Bukan hitam ataupun putih. Sekedar Abu-abu.

Suatu waktu, aku bertemu salah satu warna. Berkilau hingga mataku silau. Kagum dengan semangatnya, aku mulai mengintip kelompoknya. Hmm...warna-warna lain yang lebih cerah. Menulis dalam warna seperti yang ku suka. Aku suka warna dan mengutak-atik warna. karenanya aku merasa nyaman bersama warna-warna cerah di sini.

Ah, mereka begitu berwarna. Meski ada konflik, warna mereka tak pernah pudar. Aku bangga diakui mereka sebagai salah satu warna cerah yang mereka sayangi, violet. Di sini aku semakin berwarna, tertawa lepas, bergoyang lepas dan menggenjot semangat. Aku tahu mereka ada karena aku butuh..

Selang waktu, kesibukan bertambah. Warna itu kian berpencar. Mungkin menerangi ruang gelap di lorong sana, atau bergumul dengan warna lain hingga membentuk kombinasi warna yang lebih cantik. Aku tetap bangga masih bersama mereka, dan aku senang mendapati warna-warna mereka dimana-mana.

Merekalah penyemangatku untuk tetap menarikan pena, menceritakan tentang warna, bukan hitam maupun putih saja. magenta, violet, indigo, cyan.

Kenalkan pada dunia, Kami Pelangi :)


coz friendship is colorful, coz friendship never ends.

Lelaki Terhebatku

Bagaimana jika ditanya siapakah sahabatmu yang pertama kali memperkenalkanmu pada dunia kreatif? Pasti dia orang hebat, entah dalam karyanya maupun dengan background pendidikannya.

Bagaimana jika ditanya siapakah lelaki pertama yang kamu cintai? tentunya dia orang hebat, entah secara karakter maupun cintanya. ciiee...

Bagaimana jika aku yang ditanya seperti itu?

Dia adalah seorang laki-laki super hebat dan super kreatif. Kehadirannya di hari-hariku membuat duniaku lebih berwarna. Meski kadang aku bosan bersamanya atau sekedar mutung dengan prinsipnya.

Hobi kami sama. Berkreasi dengan warna atau membuat sesuatu yang ga jelas. Hal yang sering kami lakukan tiap liburan adalah mengecat tembok, entah tembok rumah maupun tembok pagar. Mau lihat hasil karya kami? ini nih :


aku yang nglukis bingkainya, dia yang nggambar gajahnya :)

Dia sedang asyik bikin cropcircle
hasilnya :

Sudah mulai nebak, siapa lelaki ini?
Kalo foto ini, mungkin kau langsung bisa menebaknya.

Dia dan karya terbaru kami saat lebaran kemarin. sebuah pohon makanan :)
Yeah, he is my dad! my lovely dad forever!

Dan, suatu hari di bulan Mei, saat aku mengatakan akan datang teman-teman pelangi bersilaturahim, dia begitu asyik memperbaiki kamar mandi yang rusak (atas permintaanku sih). Pertamanya, memang kita sepakat menggambar di temboknya. rencana ini sudah sejak lama terpikir. Namun pada prakteknya, aku terlalu sibuk (atau sok sibuk) sehingga Bapak menggambar sendiri. 
Melihat lantai kamar mandi yang aduhai rusaknya, aku pengen banget lantainya diganti yang baru. Apa yang terjadi? Beliau memperbaikinya hingga jam 11 malam, hanya karena besok pagi teman-teman pelangiku datang. Aku hampir menangis karenanya.

Satu hal lagi, lihat ini 

Kedua gambar ini ada di tembok kamar mandi. di sisi yang lain, ada gambar pelangi. Sayangnya, aku lupa memfotonya. Gambar ini seharusnya kami kerjakan sama-sama. Tapi aku pulang terlalu sore atau malam, tak sempat membantunya. Ibuku sempat memarahiku, karena membiarkan bapak menggambar sendiri. Kau tau apa jawaban bapak?
"Yo ra popo to, itung-itung iki dinggo hadiah ulang tahune Diah. Kan aku raiso nge'i opo-opo. yo gur gambar iki" 
artinya : "Ya gapapa, itung-itung buat hadiah ulang tahunnya Diah. kan aku ga bisa ngasih apa-apa. Ya cuma gambar ini"

so sweet kan bapakku?

Dan kami selayak sahabat. rebutan remote tivi, sarapan bareng, cerita seru tiap sore, nonton tivi sampai ketiduran, dan kami punya hobi yang sama, jalan-jalan nonton pameran seni, suatu hal yang tidak disukai ibuku. Kalo saja aku ini cowok, pasti aku juga ikut bapak nonton wayang kulit semalam suntuk.

hmm...ini persahabatan kan? yeap, persahabatan yang keren antara aku dan bapak ^_^
kamu punya cerita tentang bapak? share link ya.


Mereka Membuatku Menulis



 “Wah, sekarang sudah jadi penulis. Keren deh!"
“Selamat ya, sudah terbit novelnya”
                “Penulis, ajarin nulis dong. Kan kamu sudah bisa nerbitin buku”
                “Halah, baru juga nerbitin novel tipis gitu. Paling-paling ga laku”
                “Kok tipis bukunya? Mahal pula!”
                “Ceritanya buat anak-anak ya mbak? Kenapa ga bikin yang remaja atau dewasa aja sih?”

Beragam ucapan orang tentangku dan tulisanku. Ada yang memuji, ada yang mencibir. Ada yang senyum manis dan tulus, ada yang tersenyum getir dan pahit. Namun tak banyak orang yang tahu, siapakah orang di balik kecintaanku pada dunia tulis menulis. Banyak orang mengira, aku menulis karena bergaul dengan komunitas kepenulisan. Ya, ada benarnya sih. Tapi, komunitas penulis merupakan pijakan selanjutnya setelah peletakan batu pertama (berasa bangun gedung baru gt). Jangan kaget jika aku menceritakan tentang sosok yang meletakkan batu pertama dan membuatku mengenal serta menyelami dunia kepenulisan. Dia bukan penulis terkenal, dia belum punya buku atau novel satu pun, dia tidak bekerja di dunia penerbitan, dia tidak ber-passion di kepenulisan, dan dia tidak tergabung dalam komunitas menulis manapun. So?
Aku memanggilnya Mas Din. Seorang sholeh berjenggot tipis dan santun. Masih sepupu jauh dan bertetangga denganku. Entah akunya yang kuper atau memang Beliau jarang di rumah, aku bahkan baru mengenalnya ketika aku SMA dan beliau sudah kuliah.
Waktu itu, aku amat sangat malas sekali mengikuti kegiatan organisasi kepemudaan di kampungku. Alasanku tetap bertahan di karang taruna adalah orang tuaku yang merupakan tokoh masyarakat. Hampir setiap pertemuan rutin, kehadiranku hanya datang, duduk, ngemil, diam dan pulang. Aneh memang, hidup di kampung tapi ga kenal sama tetangga sendiri. Tidak banyak teman yang aku punya. Hanya teman masa TK dan teman se-RT saja yang aku kenal.
Hingga suatu ketika, tak dinyana tak diminta, aku dimasukkan ke dalam pengurus, khususnya keagamaan. Nah, ini awalnya aku mencintai karang taruna. Divisi ini mempunyai program yang keren dan banyak. Salah satunya pembuatan bulletin kampung. Ya, hanya selembar kertas penyebar ilmu. Aku ditarik masuk ke dalam redaksi. Kala itu, sangat pantas sekali jika aku disebut pupuk bawang atau kintilan saja. Karena selain paling kecil ingusan dan ga mudeng apapun, aku sangat pendiam dan pasif (lah kenapa sekarang berubah jadi brutal gini ya?). 
Tapi, Mas Din memberiku kepercayaan sehingga aku pun mencoba move on  di dunia perbuletinan. Awalnya sekedar nulis artikel ringan, puisi atau jadi ‘reporter rahasia’ yang menyimak setiap obrolan hangat di kampung. Lama-kelamaan dipercaya menulis Tsaqofah dengan konten yang lebih halus, tegas dan berisi, sesuai tema bulan itu. Memang di awal-awal aku sangat malu dengan hasil tulisanku yang amat sangat  nggilanik ga nggenah. Namun, ada rasa bangga dan bahagia ketika tulisan itu dibaca orang lain, mereka tersenyum dan mengantongi ilmu baru. Rasanya luar biasa. Sama seperti perasaanku ketika pertama kalinya (dan satu-satunya), puisiku dimuat di Koran lokal. 
Adiktif, aku ketagihan menulis.
Selain Mas Din, ada mas Bah, mas Sigit, mas Umar, mbak Alvi, mbak Eni, mbak Roh, mas Topik, mbak Ika. Semuanya menganggapku adek kecil yang harus disayangi dan diajari macam-macam, termasuk belajar bersahabat. Mas Bah dengan sabar mengajariku adobe Pagemaker (sekarang udah diganti InDesign, dimana aku masih grotal-gratul pegangnya T_T). Selain itu juga mengajari tata tulis yang baik dan chruncy. Juga orang yang paling sabar menampung curhatku tentang komputer semeleketeku. 
Ada mas Sigit yang memberikanku majalah-majalah ehem...agak berat. Mengajariku menjadi pribadi yang bermanfaat dengan ngajar di TPQ. Mas Umar dengan segala keceriaannya, selalu saja menjadi orang paling care. Ada mbak Roh yang mengajariku istiqomah bersama jilbab. Mbak Eni dan mbak Alvi, dua kakak hebat ini selalu ada di kala aku nangis ataupun tertawa. Di saat butuh tulisan keren, mereka akan membantu meski belum pernah iikut pelatihan menulis apapun. Mas Topik, ini nih orang paling gokil yang keren abis. Mbak Dokter Ika yang cantik, orang yang menjadi panutanku. sosok sempurna di mataku. Cantik, pinter, baik, rajin sholat, suka nraktir, pokoke keren.
Di redaksi bulletin ini, aku benar-benar mengenal bagaimana beratnya perjuangan mengejar deadline, bagaimana rasanya tulisan kita dibuang ke tong sampah oleh pembaca, bagaimana menghadapi kritikan, gunjingan dan cemoohan (maklumlah hidup di kampung). Namun, di tengah kesemrawutan yang terjadi di kampung, kami tetap berkomitmen untuk bersahabat. Tak jarang kami jalan-jalan dan makan-makan, touring ga jelas, atau sekedar rapat rutin yang berujung curhat-curhatan :D. Kadangkala, konflik kecil terjadi karena perbedaan sudut pandang atau sekedar salah paham. Persahabatan mengajarkan kami keikhlasan menerima perbedaan karakter, dan kesabaran dalam memahami satu sama lain.Dan merekalah yang membuatku memijak pada batu kepenulisan yang lebih besar sekarang ini. Meski aku sudah menulis sejak SD (bikin puisi buat ibuk), tapi kecintaan itu terbit karena adanya persahabatan ini. Aku suka menulis apalagi menuliskan persahabatan.
Ada pertemuan tentu berujung perpisahan. Meski sudah regenerasi, persahabatan keredaksian itu tak pernah sama. Hal yang paling aku takutkan saat itu adalah pernikahan. Ya, ketika salah satu dari kami menikah, otomatis dia akan lepas dari tanggung jawab di organisasi. Keluar dari kampung atau lebih tepatnya mengarungi samudra rumah tangga. Dan hal itu benar-benar terjadi. Mas Din menikah pada tanggal 7 bulan ke-7 tahun 07 dan aku mengantarnya dengan hati kecut sekaligus senang. Bukan karena patah hati, tapi takut kehilangan kakak yang memang belum pernah aku miliki sejak lahir. Actually, aku senang karena beliau telah menggenapkan separuh agama. 
Dan semua personil redaksi bulletin itu telah berkeluarga, except me, of course. Aku kesepian, sangat kesepian. Ketika semuanya sibuk dengan urusan masing-masing dan aku pun begitu, tapi jauh dalam lubuk hati, aku yakin merindukan kebersamaan itu. coz friendship never ends.

Kecrohan Masa Kecil

Masa kecil tak bisa dikembalikan secara nyata. Hanya melalui kenangan yang kita simpan di lubuk memori. Begitulah. Dan ketika bercengkerama dengan seorang teman kecil (yang kini sudah beranjak tua), kita sama-sama tertawa, menertawai kekonyolan masa kecil kita.

Suatu waktu 'kecroh-kecrohan' menjadi hal yang lumrah dalam pergaulan. Bahkan sampai sekarang. Agaknya hal itu menjadi bumbu di saat reunian atau sekedar menambah basa-basi tanya kabar. Namun, mengingat masa lalu, ada dua orang teman kita satu cewek dan satu cowok yang selalu menjadi korban kebiadaban kecrohan kita, sebut saja A dan B.
 "Ih, kamu pacare si A ya? ciiee.." kata temanku. Maka balasku pun, "Kowe kui pacare si B". dan tak jarang jika kita bereaksi jijik dengan nama itu.

Tak hanya aku dan temanku itu yang menggunakan si A dan si B menjadi bahan ejekan. Perlu diketahui, si A dan si B (mungkin) agak kurang pergaulan, agak dekil dan berbagai kekurangan fisik lainnya. Itulah mengapa mereka menjadi bahan ejekan kita, hampir semua orang di kelas.

Sampai saat ini, kadang si A dan si B masih muncul dalam obyek obrolan kami. Entah karena sekedar nostalgia atau memang mereka sudah menjadi icon kecrohan kami. 
Walaupun aku selalu tertawa dan bersalto koprol  dan senyum ga jelas, aku prihatin. Bagaimana perasaaan si A dan si B kalau mengetahui hal itu? bagaimana jika akulah si A atau B yang seringkali menjadi bahan ejekan karena anugrah ketidakcantikan atau ketidakgantengan?

Ketika aku berchat ria dengan seorang teman kecil (yang sekarang beranjak tua itu), kita sama-sama tertawa, menertawakan kebodohan masing-masing karena masih menggunakan nama itu untuk ejekan. Tetapi kami sama-sama berdoa, semoga si A dan si B mendapatkan pahala dari banyaknya orang yang menggunakan namanya sebagai ejekan ga bermutu. 

Untungnya, kecroh-kecrohan itu tak berlanjut. Kami insaf. dan tetap menjadi kenangan yang indah. 

Si A dan si B, maafkan kami ya :)

Ocehan Kecil Perindu Bahagia

Kadang kala, secuil batu menyapa kakimu, meski kau tak peduli dan kemudian menginjaknya.
Sama halnya ketika kau tak acuhkan bisikan lirih sang angin sebelum akhirnya matamu terpapar debu.

Tak ada yang bisa sempurna. Menyukai dan mencintai adalah fitrah, tapi memiliki bukan tujuannya.
Hanya secuil batu atau selaksa angin, asal tetap bersamamu atau mungkin sekedar lewat tanpa kau pedulikan. Tapi aku senang, karena secuil batu pun masih sempat menyapamu sebelum remuk terinjak ketidakpedulianmu.

Lepas dari semua itu, aku rasa aku sudah cukup jauh pergi. Meninggalkan kenangan secuil batu dan selaksa angin lirih.
Semua tersibak maya, oleh sesiapa yang merenung dan mencukupkan mata untuk berbasah.

Langkahku terangkat lagi. Bukan menjadi secuil batu yang pasrah kau injak, atau sekedar angin lirih yang lewat di belakang tengkuk. Langkahku terangkat lagi, lebih tegap, lebih siap. Untuk tetap menemukan bahagiaku sendiri, ada atau tanpamu.


*empat tahun cukup lama untuk sekedar menyimpan sobekan kertas sisa terbakar*

Mati Lampu, Bulan dan Kita

Saat itu, purnama belum muncul sempurna. Seringkali ditingkah oleh sekawanan awan yang menyembunyikan cahayanya. Kami diam. Menyelami pikiran masing-masing. Mungkin berpikir tentang dunia kami yang sama sekali berbeda. Tehnik, kesehatan dan kepenulisan. Namun, tak pernah membuat kami 'berbeda' dalam bercakap. Ya, kami selalu kompak.

Tiga tahun yang lalu, purnama sama sekali tak muncul. Hanya menampil sebentuk sabit yang tersenyum menatap kami yang bercanda ria meski mati lampu sudah hampir sejam lamanya. Berbekal sebatang lilin yang menyala, atraksi wayang tangan dimulai. Entah muncul darimana ketika T-rex tiba-tiba muncul. Namun dilompati oleh kelinci dan diketawakan oleh ayam. Ah, aku selalu kalah. Imajinasiku tak seliar mereka. Tanganku tak menangkap sinyal otak untuk berkreasi. Namun, ketawa mereka membuatku bersuka.

Sepuluh tahun yang lalu, purnama benar-benar sembunyi. Mungkin kedinginan dan masuk angin karena kehujanan kemarin. Bagi kami, lilin yang hampir habis, listrik yang dipadamkan bergilir, bulan yang sembunyi, tak pernah memupus keliaran imajinasi kami untuk membuat keceriaan. Sebuah tembok kosong pun bisa kita jadikan kreasi yang mengasyikkan. Beruntung, rumah kami terletak di pinggir jalan raya yang ramai. Hal ini menjadi sumber permainan yang menyenangkan bagi kami dengan keadaan gelap seperti ini. Menebak dan memilih bayangan-bayangan pohon yang terdorong sinar lampu mobil hingga menempel di tembok. Kami tertawa, kami gembira, hingga ibu menyuruh kami untuk mengakhirinya karena malam berlanjut larut.

Dua tahun yang lalu, mati lampu datang berkali-kali dalam setahun belakangan. Dulunya kami bertiga. Kali ini berdua saja. Karena si tengah sedang berjuang di kota seberang. Sbenarnya, dia besoknya ada ulangan, maklum ujian semesteran semakin dekat. Aku diam sambil memegang bolpen, sesekali meningkahi liukan api yang bergoyang mengikuti irama angin. Dia tersenyum jengkel karena bukunya tertutup bayangan bolpen. Akhirnya kami main bakar-bakaran, mulai dari ujung bolpen, ujung sajadah, bekas bungkus permen sampai jempol pun dijajal merasakan sentuhan panas. Tapi, cuma berdua, karena yang satu hanya berkumpul ketika weekend tiba. Sedikit sepi.

Purnama bulan Mei, purnama sempurna. tapi aku duduk memandangnya sendirian. Tanpa mereka. Dan aku yakin mereka sedang memandang purnama yang sama.

Satu minggu yang lalu, mati lampu sudah sesorean, hingga malam menjelang tak jua listrik teralir sempurna. Lilin sudah menyala di dalam sana. Aku terduduk diam di antara tembok pagar. Memandang luasnya langit tanpa polusi cahaya. Bintang tak muncul karena bulan masih berdandan menyambut show purnamanya. Dan aku sendirian, tanpa mereka.

Idul Adha mubarok, tapi mati lampu lagi. Lilin tinggal satu-satunya. Tapi kami biarkan meliuk di dalam sana. Kami? Ya, bertiga kembali. Duduk berjejer di antara pintu pagar, bercerita tentang dunia masing-masing. Tentang Ospek jurusan yang lamanya 4 bulan, tentang kelahiran di dalam air, dan tentang pekerjaan baru seorang editor culun. Bahkan tentang film animasi terbaru yang belum sempat kita tonton bersama. Ya, waktu terlalu sempit untuk sekedar nonton bertiga, di kamarku, bermodal laptop, speaker aktif, dan cemilan.
Tiba-tiba bulan pucat menyinari kita. Tepat di atas kita. Kita semakin riuh tertawa dan bercerita. Juga merenungkan kebersamaan singkat ini.

Saat itu, purnama belum muncul sempurna. Seringkali ditingkah oleh sekawanan awan yang menyembunyikan cahayanya. Kami diam. Menyelami pikiran masing-masing. Mungkin berpikir tentang dunia kami yang sama sekali berbeda. Tehnik, kesehatan dan kepenulisan. Namun, tak pernah membuat kami 'berbeda' dalam bercakap. Ya, kami selalu kompak.

Semalam, mati lampu untuk kesekian kalinya di minggu ini. Seharusnya bulan sudah semakin purnama. Namun, awan sepertinya tak rela melepas kehangatan cahaya bulan. Kami duduk, dan berdua saja. Karena si bungsu telah berlalu bersama kereta malamnya. Lama merenung, bulan pun mengintip. Membagi cahayanya kepada kami, mungkin ingin memunculkan rasa yang lusa kemarin sempat ada.

Besok, purnama sempurna. dan kemungkinan, aku akan memandangnya sendiri, menikmati cahayanya sendiri.

Akhir tahun nanti, kami akan duduk di sini lagi. Menatap langit yang sama, namun bulan yang lebih indah dan mati lampu yang menyatukan. coz friendship never ends.

Cahaya bulan menusukku,
 dengan ribuan pertanyaan
yang takkan pernah ku tahu
dimana jawaban itu...
bahkan letusan berapi
bangunkanku dari mimpi
sudah waktunya berdiri
mencari jawaban kegelisahan hati.



Antara Aku, Kau dan Mereka


Katanya, bumi itu bulat. Bagaimana jika aku berjalan ke utara dan kau ke selatan kemudian kita bertemu di balik bumi yang kita putari?
hmm...akan jadi rindu yang menemukan pelabuhan.

Katanya, bulan itu indah. Bagaimana jika kita simpan di pojok ruangan hati di mana kita sering bertemu?
mungkin akan meningkahi celotehan kita tentang masa depan.

Katanya, daun itu hijau. Bagaimana jika kau memetiknya dan aku merangkainya menjadi sebuah tiara?
kau jadi raja dan aku bangga.

Katanya, menjadi dewasa itu pilihan. Bagaimana jika kita bermain lumpur seharian, bermain perosotan di pematang sawah, mancing ikan di sungai, atau main bekel sesorean?
dunia terasa menyenangkan, sepertinya.

Katanya, dunia begitu sempit. Bagaimana kita tambahkan sedikit luapan cinta agar semua bisa bernafas lega?
mungkin bisa ditambahkan taburan meises agar lebih manis ^_^

Katanya, kopi itu pahit. Bagaimana jika aku petik sedikit gula yang ada di wajahmu agar kopimu tak lagi pahit?
ah, aku cukup minum kopi sambil melihatmu saja.

Katanya, tulisan ini semakin gombal. Bagaimana jika kau berhenti membaca kemudian kita makan coklat di pinggir pantai?
Sebenarnya sunset terlalu singkat untuk menemani kita bercerita.

Katanya, cmut sedang koplak. Bagaimana jika kau berikan saja permen sunduk dan sekotak coklat agar dia kembali ke jalan yang benar?
ah, aku akan menunggu dengan manis.



 *ketika tertawa lepas bersamamu menjadi hal yang lebih dirindukan daripada jam makan siang* 

Salam Nurani

"Jadi, apa gunanya kau di sini?"
Tersenyum, "Kau yang membutuhkanku,"

"Hah? Kenapa aku harus membutuhkanmu? Aku tak pernah memanggilmu" Aku semakin kesal dengan kehadirannya.

"Tapi, kau adalah aku" katanya tajam. Matanya berkilat.

"Bagaimana bisa? Sedang kau tak pernah muncul di hari-hari beratku." Mataku basah.
"Karena kau tak mengingatku, padahal aku selalu ada jika kau mau"

"Aku bingung, tapi aku senang kau ada. Tanpamu, aku tak bisa memilih jalan di persimpangan gelap itu. Tanpamu, aku tak bisa melukis bintang, di sini."


Kami bergandeng, berjalan bersama hingga dia menghilang, menyatu kembali dalam hatiku.

gambar dari yessigreena.wordpress.com

Obituari Senja


          Biru di pagi itu, terasa ada yang beda. Perasaan tidak enak tanpa tahu sebabnya. Perasaan ini sudah berkubang sejak 2 hari sebelumnya. Tepatnya, saat aku melintasi jalan Solo-Purwodadi dan berpapasan dengan bis kota yang dulu sering aku tumpangi ke sekolah, bersamanya dan teman-teman yang lain. Di hari itu juga, aku memimpikannya dan mereka tentang masa SMA.
          Masa SMA yang tak terlupakan. Dia bukan teman satu SMA denganku. Dia hanya seorang cowok dari SMA lain yang sedang naksir berat sama sahabatku. Kebetulan, dia sering naik bis yang sama denganku tiap hari walaupun tujuan kita tak sama. Dulu, aku merasa risih karena dia dekat denganku agar bisa PDKT dengan sahabatku. Tapi lama-lama kami menjadi teman akrab. Aku tak pernah keberatan menyampaikan salam atau menemaninya bertandang ke rumah sahabatku. Dia adalah teman yang menyenangkan.
          Hal yang sama dialami oleh teman-teman se-SMAku yang ‘kebetulan’ kenal dengannya. Ya, dia orang yang sangat care. Selain supel, dia tak pernah berhenti membuat orang lain terhibur atau sedikit termotivasi dengan celotehannya selama perjalanan ke sekolah. Bahkan sampai lulus SMA pun, dia tetap menjalin komunikasi denganku. Menelepon untuk sekedar bertanya kabar atau bercerita panjang lebar tentang kehidupannya di kota besar.
          Hingga pertengahan Ramadhan lalu, telepon terakhirnya untukku. Aku hanya agak kaget, karena dia meneleponku setelah tarawih. Biasanya dia hanya meneleponku saat pagi hari sebelum kuliah atau berangkat kerja. Kali ini, dia bercerita panjang lebar tentang nostalgia perjuangan cintanya semasa SMA. Ya, aku tahu benar cerita itu. Bagaimana dia harus jatuh dan bangun menggapai cinta pertamanya, hingga bagaimana dia bisa move on untuk membangun cinta yang lain. Cerita konyol masa lalu tentang bis sekolah jam 6 pagi, nongkrong di terminal sampai senja, menyusup di kegiatan sekolah, semuanya membuatku tertawa dan bahagia. Dia juga bercerita tentang kebahagiaannya bersama istrinya yang shalihah. Tentang kehamilan istrinya yang begitu disayanginya. Tentang menanti kehadiran buah hati yang sangat dirindukannya.
Di tengah cerita, dia memintaku untuk menuliskan kisahnya menjadi sebuah novel. Dia ingin menginspirasi orang lain bahwa hidup itu harus diperjuangkan, bukan menguatkan kelemahan tetapi memaksimalkan kekuatan. Aku hanya mengiyakan, walau sedikit memprotes, "biasanya cerita seperti ini ditulis ketika orang itu sudah tua, pensiun, sukses gitu". tapi Dia hanya tertawa. Akhirnya, aku berjanji akan mencobanya, tetapi aku harus tahu cerita lengkapnya (karena kita sudah jarang bertemu sejak lulus SMA). dia berjanji akan bertemu denganku ketika pulang kampung akhir tahun. Ya, dia sekarang sudah bisa membeli rumah mungil di Kalimantan Selatan, tempatnya mendulang kesuksesan.
             Di akhir teleponnya, dia mendoakanku lebih panjang dari biasanya. Doa yang tulus dan terasa lebih menyejukkan hingga mataku basah. Entahlah, tapi aku baru sadar, dia teman yang luar biasa.
              Biru di senja itu, terasa ada yang beda. Senja di Sabtu biru. Sebuah pesan di FB membuat jantungku berdegup keras. Dia meninggal dunia. Dengan gemetar, aku raih handphone kemudian mengirim pesan singkat ke pengirim pesan FB itu. Aku tak percaya! Aku tak percaya! Benar-benar tak dapat dipercaya. Baru kemarin dia berkomentar di status FB-ku. Baru beberapa hari ini, dia banyak berkomunikasi di FB (apdet statusnya lebih banyak dan lebih bijak daripada biasanya). Seakan baru kemarin dia meneleponku. Bahkan sampai sekarang aku masih mengingat jelas suaranya, ketawanya, senyumnya, kegokilannya.
              Aku buka wall FB-nya. Penuh dengan ucapan duka cita. Dia meninggal karena serangan jantung. Hal yang tak pernah terduga sebelumnya. Dia tak pernah merokok, minum minuman keras atau yang aneh-aneh. Dia orangnya lurus-lurus saja. Rajin sholat dan ngaji meski tak sampai berjenggot tipis atau bercelana jegrang, kalau kata orang. Dia juga bukan workaholic, istirahat cukup. Tapi, ketetapan-Nya siapa yang bisa menduga?
           Hari ini, hari keempat sepeninggalnya, masih ada sms dari teman se-SMA-ku yang mengenalnya sejak SMP. Tak ada yang percaya kalau dia telah meninggal. Aku pun juga. Aku hanya merasa, dia sedang pergi jauh, tanpa pamit, dan akan kembali. Sama seperti kepergiannya dulu ke Ibukota atau ke Pulau Sumatra dan Kalimantan demi memaksimalkan ‘kekuatan’nya. Dia tak pernah pamit, tetapi selalu memberi kabar. Ya, kali ini dia pergi sangat jauh, tanpa pamit, dan tak pernah kembali. Tapi di hatiku, di hati teman-teman yang menyayanginya, di hati istri yang mencintainya, di hati orang tuanya dan keluarga yang mengasihinya, dia tetap hidup.

           Hai, Sutrisno. Nama sederhanamu, tak sesederhana pribadimu. Nama sederhanamu, tak sesederhana persahabatan kita. Kau tetap menjadi teman dan sahabat baikku, kami dan semuanya. Suara, canda tawa, airmatamu, masih terekam jelas di ingatanku. Doamu adalah penyemangatku. Terima kasih. Tunggulah kami di alam sana. Kita akan bertemu di surga nanti. Coz friendship never ends.