Seribu debu menumpuk di atas nampan kelegaan
Bukan karena tak terbersih
hanya
tak pernah tersentuh
Nampan ini adalah penampung semua lara
itu dulu...
Lalu, apakah aku tak pernah memakainya lagi?
Ah ya, aku memakai hal lain, wadah lain untuk menampungnya
Kejam? Ah, Tidak!
Hanya saja, menjadi aktris itu sangat lucu
Aku mengoleksi topeng emosi
Kemudian aku memerankannya
Tak ada wajah asliku yang sakit dan terluka
Haruskah bersembunyi seamanya?
Ah, mana ada kuasaku?
Hanya saja, nampan ini kusentuh lagi
Berdebu
Tapi masih bisa dipakai lagi
Bukan... bukan kotor
hanya debu yang menggelitik
Menyimpan sejarah masa lalu
yang susah untuk aku tinggalkan.
*Nemu tulisan ini di notebook-ku. sepertinya tulisan tahun lalu. ah, apa kabar, Topeng?*
Cuil-cuil Cmut
Cuilan puzzle
- secuil imajinasi kata (27)
- secuil cerita (21)
- secuil inspirasi (8)
- secuil kawan (7)
- secuil psycho (4)
Hilang
“Pokoknya aku tidak mau, Diy!”
Mata Puspa berapi-api. Menatap kesal pada kakaknya itu.
“Tapi kita tidak bisa melakukan
apa-apa kecuali pergi dari sini, Pus.” Dengan sabar Diyar menjelaskan.
Puspa menghentak kesal. Langkah-langkah
tegasnya mengarah ke kamar dan… Darr! Pintu terbanting kasar. Diyar hanya bisa
menghela nafas.
Rumah ini, sudah bukan milik
mereka lagi. Bukan milik keluarga besar Suketi Jiwo lagi. Diyar tidak bisa
membayar tagihan dari Pegadaian. Ya, sertifikat rumah warisan ini sudah
digadaikan oleh Ayah mereka. Kecanduan judi telah membuatnya kalap. Semua isi
rumah ini telah dijualnya.
Kecuali cermin tua di kamar
Puspa.
Pyaar…
Lamunan Diyar terpecah. Segera
dia berlari menuju kamar Puspa. Jangan-jangan…
“Puspa, buka pintunya!” Diyar
mendorong sekuat tenaga, namun pintu itu bergeming.
Diyar tak habis akal. Keluarlah ia
dan mendobrak jendela dari luar.
“Puspa… Puspa…” Teriaknya. Tak ada jawaban, hanya gaung suaranya yang menjelma.
Aneh. Tidak ada siapa-siapa di
kamarnya.
Diyar semakin bingung.
Lebih aneh lagi, cermin tua itu
masih utuh. Tidak seperti dugaannya tadi.
Tapi,
“Puspa?”
Diyar menatap sebuah bayangan
yang semula menampilkan sosok dirinya sendiri.
Namun, kini berubah menjadi dua
sosok perempuan, Puspa dan Ibu.
“Diyar, maafkan kami. Kami harus
kembali. Dunia kita berbeda.”
Suara merdu ibu sayup tenggelam
dan hilang dalam cermin tua.
Bisul Dosa
Kamu pernah bisulan?
Aku yakin, kamu pernah
mengalaminya. Bisul atau abscessus adalah
sekumpulan nanah yang terakumulasi di rongga di jarngan setelah terinfeksi
sesuatu, sebagai reaksi ketahanan dari jaringan untuk menghindari menyebarnya
barang asing di tubuh. Jadi, dengan kata lain, bisul mengandung bakteri dan
imun yang rusak karena benda asing yang masuk.
Gimana rasanya punya bisul?
Gatal, perih, panas dan segala
ketidaknyamanan di sekitar kulit yang terkena bisul. Satu bisul saja bisa membuatmu tersiksa.
Padahal, bisul bukanlah penyakit mematikan, tidak menular. Hanya sebuah
peradangan kulit.
Bagaimana jika bisul itu adalah
wujud dari dosa yang kita perbuat?
Yah, aku hanya mengandaikan.
Andai dosa bisa berwujud, mungkin manusia lebih aware terhadap perbuatan yang tergolong dosa. Karena tiap kali
manusia melakukan dosa maka timbullah bisul di kulitnya (atau di wajahnya
sekalian). Sudah sifat manusia untuk menghindari ketidaknyamanan dan berusaha
meraih kebahagiaan. Dengan alarm dosa berupa bisul, maka manusia akan berusaha
meninggalkan sesuatu yang menimbulkan ketidaknyamanan atau kesakitan.
Jika dosa bisa berwujud bisul,
manusia dapat merasakan ‘hukuman’ dari perbuatan dosanya secara langsung. Semakin
banyak dosa yang dia lakukan, semakin banyak pula bisul yang muncul. Semakin
besar dosa yang dilakukan maka semakin besar pula bisul yang muncul. Bisul-bisul
dosa itu hanya bisa sembuh dengan memohon ampunan kepada-Nya, mengakui
kesalahan dan berjanji untuk tidak mengulanginya.
Jadi, sudah berapa bisul yang kau
temukan hari ini?
Hahahaha...lucu kali ya, jika
berbohong dikit, maka muncullah satu bisul di hidung. Belum lagi kalo pergi ke
dukun, kira-kira bisulnya segede apa ya? Itu kan dosa besar.
Bisul tak hanya
perih, tetapi ada juga yang menimbulkan bau amis jika tonjolan itu pecah dan
mengeluarkan nanah. Jangan dibayangkan kalau kamu tidak ingin mual! Bayangkan
saja, sekumpulan kotoran dan imun yg busuk pecah dan keluar, tentu sangat
menjijikkan. Semakin banyak dosa, semakin banyak bisul diderita, semakin berbau
amis dan semakin dijauhi orang. (kecuali, kalau semua orang juga bernasib sama,
berdosa dan bisulan ^_^).
Jadi inget, ada
sebuah tweet dari seorang teman (aku lupa kapan dan siapa yang nulis tweet ini)
: “Sekiranya dosa itu mengeluarkan bau busuk, pastilah engkau takkan mau duduk
bersamaku”
Yeah, karena
dosa tak berwujud, kadang kita ‘lupa’ dengan dosa yang telah kita lakukan,
kemudian melakukannya lagi dan lagi. Seakan kita lupa bahwa ada ‘bisul-bisul’
juga nanti di akhirat.
Taukah kau
kenapa dosa tidak langsung dihukum dengan bisul, kutil dan bau busuk?
Menurutku sih,
karena dosa tidak mudah dihukum dengan penyakit fisik itu. Karena dosa tak
semudah itu terbalaskan. Misalnya saja nih, ada dosa besar (zina, contohnya)
yang dilakukan seseorang tanpa diketahui orang lain, apakah cukup dihukum
dengan bisul segede kepala? Lalu, apa hukuman yang pantas? Ah, aku bukan ahli
hokum. Cari sendiri ya di Al-Qur’an dan Hadits.
Karena dosa
hakikatnya adalah hasil dari godaan. Pencoba kekuatan iman kita. Penguji kadar
cinta kita. Dosa adalah akibat dari menurunnya iman dan kadar cinta kita
kepada-Nya. Sanggupkah kita menjauhi dosa? Yang kita butuhkan hanyalah iman.
Bukan “pemberitahuan” berupa bisul bernanah, karena nurani kita sendiri yang
harusnya mencipta alarm pribadi.
Yeah, dosa bukan
bisul. Dosa tak bisa diprediksi ganjarannya. Tapi pasti ada, kelak. Bukan
berupa bisul berbau busuk, atau kutil di sekujur tubuh, bahkan tumor ganas dan
kanker, yang sering bersliweran di dunia kesehatan kita. Bukan...bukan itu. Tetapi
dengan siksaan yang tidak dapat kita bayangkan. Kelak dan pasti.
Semoga alarm
pribadi kita berfungsi dengan baik.
Wallahu’alam
Bukan Dejavu itu
bukan...
ini bukan de javu itu...
tapi benar2 kepahitan yg sama tapi lebih
terpaksa menelannya
karena demam ini tak kunjung turun
bukan...
bukan dejavu yg lalu
tapi simptom janggal yg berkubang
nyata terpana
untaian getir
bukan...
bukan dejavu yg itu
hanya sebuah episode depresif
meminimalisir sepi yg tak berujung
biarlah...
halusinasi ini menyimpan misteri
pd mimpi2 buta saat itu
asal tak membuat keabnormalan pikir yg rusak
ini bukan de javu itu...
tapi benar2 kepahitan yg sama tapi lebih
terpaksa menelannya
karena demam ini tak kunjung turun
bukan...
bukan dejavu yg lalu
tapi simptom janggal yg berkubang
nyata terpana
untaian getir
bukan...
bukan dejavu yg itu
hanya sebuah episode depresif
meminimalisir sepi yg tak berujung
biarlah...
halusinasi ini menyimpan misteri
pd mimpi2 buta saat itu
asal tak membuat keabnormalan pikir yg rusak
Ikutan Seminar dan Workshop/Pelatihan, Buat Apa?
Hoooaahhmm... sebenarnya ada naskah yang belum selesai. Tapi nulis itu butuh mood . Dan moodku lagi menguap bersama desau angin. haha...(halah, permakluman yang payah -_-)
Demi memanggil mood yang lagi terbang entah kemana, aku nulis uneg-uneg ini dulu.
Berawal dari cerita seorang teman tentang teman-teman kuliahnya yang rajin ikut seminar, tapi kurang tertarik ikut workshop. Juga, tentang pengalamanku mendengar keluhan seorang peserta workshop yang 'durung gaduk kuping' dengan materi yang disampaikan. Apa yang menjadi sebab?
Sek ah, bentar.
Sebelum kita telusuri sebabnya, lebih baik kita tahu dulu bedanya seminar dan workshop/ pelatihan. Seminar itu merupakan pembahasan suatu masalah dengan berbagai sudut pandang -dari ahli yang diundang-. Jadi, isinya penjabaran masalah dan analisis masalah serta -kadang- diperoleh solusi dari masalah tersebut. Memang sih, cuma omong-omong doang. Tapi kontennya berbobot. Seminar ini meningkatkan aktivitas otak dalam berpikir analitik. Penting lo untuk mengetahui isu yang ada di masyarakat dan bahkan tahu bagaimana mengatasinya atau menghadapinya.
Kalo workshop atau pelatihan, jelas berisi pelatihan (take action). Biasanya berkaitan dengan skill, baik soft maupun hard skill. Karena namanya pelatihan, maka yang ditekankan di sini adalah praktik, bukan cuma ber-cas cis cus teori saja. Dan seringkali, workshop tertentu mengharuskan peserta membayar sejumlah fee yang mahal karena harus mendatangkan ahli yang competent, capable 'n speakable (mampu tapi ga pandai ngomong ga bisa jadi trainer), menyediakan barang-barang yang dibutuhkan untuk workshop, dan keperluan lainnya. Berbeda dengan seminar yang tidak membutuhkan praktik. Cukup mendatangkan ahli dalam bidang tertentu yang sesuai dengan tema seminar. Contohnya, seminar tentang psikopat. Ahli yang diundang adalah dokter ahi jiwa (psikiater), psikolog klinis, kriminolog dan kalo bisa penderita psikopat atau korban psikopat.
Nah, balik lagi ke kasus fenomena mahasiswa yang rajin ikut seminar tapi malas ikut workshop. Jadi, ada mahasiswa yang berbondong-bondong ikut seminar. Apalagi seminarnya gratis. wuuuu...pasti padet tuh daftar hadirnya. Usut punya usut, kebanyakan yang ikut seminar gratis adalah anak kos-kosan. Kok bisa? Di sebuah kampus yang sedang ada fenomena ini, ssalah satu faktor paling berpengaruh adalah sms pengumuman sang korti (koordinator tingkat) yang bunyinya mengandung sedikit provokasi : "...makan siang gratis. lumayan buat ngirit uang makan...". Hmmm...selanjutnya bisa ditebak, ruang diadakannya seminar penuh. Peserta duduk, diam, mendengarkan dan makan siang gratis. Ehem...kayaknya pas jaman aku masih mahasiswa (aktif) juga termasuk deh -_-.
Di lain waktu, masih dengan mahasiswa yang sama. Ada poster tentang workshop keren yang bakal menunjang skill mereka, bahkan sebenarnya bisa menunjang kemampuan mereka menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Tapi, mereka melihat poster itu dengan sebelah mata. Mungkin karena tidak ada tulisan "makan siang gratis"-nya.
Atau ada kasus lain, dimana koleksi sertifikat menjadi hal utama dalam mengikuti event apapun. Entah seminar atau workshop ataupun cuma nongkrong, yang penting dapet sertifikat. Apalagi, di sertifikat tertulis "sebagai PANITIA". hahaha.. tapi tapi...Nah lo...trs setumpuk sertifikat buat apa sih kalo tanpa ilmu dan skill yang didapat dari event itu?
Mungkin tidak semua mahasiswa seperti itu sih. Ada juga yang bener-bener tertarik mengikuti seminar itu. Hanya saja, fenomena ini banyak terjadi di kampus manapun dan bukan rahasia umum lagi. (atau malah membudaya)
Kasus lain, kalo ini sih aku denger sendiri dan langsung tepok jidat deh. Jadi, ceritanya aku sedang mengikuti sebuah workshop yang diadakan pihak di luar kampus. Setahuku, workshop ini adalah tingkat lanjut dari materi dasar yang diajarkan di perkuliahan. Misalnya gini nih, workshop tentang sempoa maka sebelumnya kita harus paham mengenai matematika dasar (tambah, kurang, kal, bagi). gitu lo...
Nah, sebelum aku masuk ke ruang workshop, aku sempat membayangkan pesertanya adalah mahasiswa semester akhir, atau minimal semester 6 lah karena mereka sudah mendapat mata kuliah dasar tersebut, minimal sudah ada fondasi. Tetapi alangkah terkejutnya ketika aku masuk dan meihat peserta didominasi mahasiswa semester 2 dan 4. Hmmm...padahal mereka mengenal mata kuliah tentang ini pun masih dalam taraf umum -_-. Kemungkinan besar mereka kurang bisa memahami isi workshop ini. Padahal harga tiketnya mencapai ratusan ribu. Menurutku sih, sebanding dengan apa yang aku dapat, tapi untuk mereka? entahlah...
Di lain waktu, ada workshop lagi diadakan oleh pihak kampus. Harga tiket sangat terjangkau, belasan ribu. kali ini aku cuma sekilas saja melihat, karena materi ini beberapa tingkat di bawah workshop yang pertama tadi. Sempat mendengar seorang mahasiswa (mungkin semester 2 atau 4) sedang berkeluh kesah tentang workshop yang pertama. Katanya, dibandingkan dengan workshop yang kedua, workshop yang pertama sangat tidak menarik, ga mudeng, mahal pula. Sedangkan workshop yang kedua, mudah diterima dan sangat menarik.
Hahaha...aku cuma ketawa dalam hati. Pengen banget aku bilang, "Halo, nak. Liat diri dong! kamu belum gaduk kuping untuk mengikuti workshop itu. Harusnya ikut workshop dasar dulu baru ikut workshop lanjut."
Mungkin dia berpikir, harga tiket mahal menjamin kemampuan atau skill juga meningkat. Padahal, belum tentu juga. Tergantung dari masing-masing pribadi. Dan kadangkala, workshop diadakan secara bertingkat. Semakin tinggi tingkatan maka semakin besar fee yang harus dibayar.
Hmmm...Jadi, menurutku, sebelum mengikuti sebuah seminar atau workshop atau pelatihan atau training atau apalah namanya, sebaiknya :
1. Pahami dengan benar info event itu. Sesuaikan dengan minat dan kebutuhan kita
2. Benahi dulu motivasi mengikuti seminar ataupun workshop. Jangan cuma mencari fasilitas gratisan.
3. Ajukan pertanyaan pada diri sendiri, "Apakah seminar ini/ workshop ini penting buatku?" dan "Kira-kira apa yang bisa aku dapat dari event ini nantinya?"
4. Jangan cuma ikut-ikutan teman. Sukanya grudag-grudug tapi ga tau arah yang jelas.
5. Selekif memilih event agar tidak merasa kecewa di akhir sesi.
6. Ahhh...tambahin sendiri yah...aku ngantuk :D
Udah ah sekian dulu uneg-unegku. sekedar tulisan pembuang mood 'males nulis' aja sih.
Ditunggu komennya ya. hoooaaahhmmm...
Demi memanggil mood yang lagi terbang entah kemana, aku nulis uneg-uneg ini dulu.
Berawal dari cerita seorang teman tentang teman-teman kuliahnya yang rajin ikut seminar, tapi kurang tertarik ikut workshop. Juga, tentang pengalamanku mendengar keluhan seorang peserta workshop yang 'durung gaduk kuping' dengan materi yang disampaikan. Apa yang menjadi sebab?
Sek ah, bentar.
Sebelum kita telusuri sebabnya, lebih baik kita tahu dulu bedanya seminar dan workshop/ pelatihan. Seminar itu merupakan pembahasan suatu masalah dengan berbagai sudut pandang -dari ahli yang diundang-. Jadi, isinya penjabaran masalah dan analisis masalah serta -kadang- diperoleh solusi dari masalah tersebut. Memang sih, cuma omong-omong doang. Tapi kontennya berbobot. Seminar ini meningkatkan aktivitas otak dalam berpikir analitik. Penting lo untuk mengetahui isu yang ada di masyarakat dan bahkan tahu bagaimana mengatasinya atau menghadapinya.
Kalo workshop atau pelatihan, jelas berisi pelatihan (take action). Biasanya berkaitan dengan skill, baik soft maupun hard skill. Karena namanya pelatihan, maka yang ditekankan di sini adalah praktik, bukan cuma ber-cas cis cus teori saja. Dan seringkali, workshop tertentu mengharuskan peserta membayar sejumlah fee yang mahal karena harus mendatangkan ahli yang competent, capable 'n speakable (mampu tapi ga pandai ngomong ga bisa jadi trainer), menyediakan barang-barang yang dibutuhkan untuk workshop, dan keperluan lainnya. Berbeda dengan seminar yang tidak membutuhkan praktik. Cukup mendatangkan ahli dalam bidang tertentu yang sesuai dengan tema seminar. Contohnya, seminar tentang psikopat. Ahli yang diundang adalah dokter ahi jiwa (psikiater), psikolog klinis, kriminolog dan kalo bisa penderita psikopat atau korban psikopat.
Nah, balik lagi ke kasus fenomena mahasiswa yang rajin ikut seminar tapi malas ikut workshop. Jadi, ada mahasiswa yang berbondong-bondong ikut seminar. Apalagi seminarnya gratis. wuuuu...pasti padet tuh daftar hadirnya. Usut punya usut, kebanyakan yang ikut seminar gratis adalah anak kos-kosan. Kok bisa? Di sebuah kampus yang sedang ada fenomena ini, ssalah satu faktor paling berpengaruh adalah sms pengumuman sang korti (koordinator tingkat) yang bunyinya mengandung sedikit provokasi : "...makan siang gratis. lumayan buat ngirit uang makan...". Hmmm...selanjutnya bisa ditebak, ruang diadakannya seminar penuh. Peserta duduk, diam, mendengarkan dan makan siang gratis. Ehem...kayaknya pas jaman aku masih mahasiswa (aktif) juga termasuk deh -_-.
Di lain waktu, masih dengan mahasiswa yang sama. Ada poster tentang workshop keren yang bakal menunjang skill mereka, bahkan sebenarnya bisa menunjang kemampuan mereka menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Tapi, mereka melihat poster itu dengan sebelah mata. Mungkin karena tidak ada tulisan "makan siang gratis"-nya.
Atau ada kasus lain, dimana koleksi sertifikat menjadi hal utama dalam mengikuti event apapun. Entah seminar atau workshop ataupun cuma nongkrong, yang penting dapet sertifikat. Apalagi, di sertifikat tertulis "sebagai PANITIA". hahaha.. tapi tapi...Nah lo...trs setumpuk sertifikat buat apa sih kalo tanpa ilmu dan skill yang didapat dari event itu?
Mungkin tidak semua mahasiswa seperti itu sih. Ada juga yang bener-bener tertarik mengikuti seminar itu. Hanya saja, fenomena ini banyak terjadi di kampus manapun dan bukan rahasia umum lagi. (atau malah membudaya)
Kasus lain, kalo ini sih aku denger sendiri dan langsung tepok jidat deh. Jadi, ceritanya aku sedang mengikuti sebuah workshop yang diadakan pihak di luar kampus. Setahuku, workshop ini adalah tingkat lanjut dari materi dasar yang diajarkan di perkuliahan. Misalnya gini nih, workshop tentang sempoa maka sebelumnya kita harus paham mengenai matematika dasar (tambah, kurang, kal, bagi). gitu lo...
Nah, sebelum aku masuk ke ruang workshop, aku sempat membayangkan pesertanya adalah mahasiswa semester akhir, atau minimal semester 6 lah karena mereka sudah mendapat mata kuliah dasar tersebut, minimal sudah ada fondasi. Tetapi alangkah terkejutnya ketika aku masuk dan meihat peserta didominasi mahasiswa semester 2 dan 4. Hmmm...padahal mereka mengenal mata kuliah tentang ini pun masih dalam taraf umum -_-. Kemungkinan besar mereka kurang bisa memahami isi workshop ini. Padahal harga tiketnya mencapai ratusan ribu. Menurutku sih, sebanding dengan apa yang aku dapat, tapi untuk mereka? entahlah...
Di lain waktu, ada workshop lagi diadakan oleh pihak kampus. Harga tiket sangat terjangkau, belasan ribu. kali ini aku cuma sekilas saja melihat, karena materi ini beberapa tingkat di bawah workshop yang pertama tadi. Sempat mendengar seorang mahasiswa (mungkin semester 2 atau 4) sedang berkeluh kesah tentang workshop yang pertama. Katanya, dibandingkan dengan workshop yang kedua, workshop yang pertama sangat tidak menarik, ga mudeng, mahal pula. Sedangkan workshop yang kedua, mudah diterima dan sangat menarik.
Hahaha...aku cuma ketawa dalam hati. Pengen banget aku bilang, "Halo, nak. Liat diri dong! kamu belum gaduk kuping untuk mengikuti workshop itu. Harusnya ikut workshop dasar dulu baru ikut workshop lanjut."
Mungkin dia berpikir, harga tiket mahal menjamin kemampuan atau skill juga meningkat. Padahal, belum tentu juga. Tergantung dari masing-masing pribadi. Dan kadangkala, workshop diadakan secara bertingkat. Semakin tinggi tingkatan maka semakin besar fee yang harus dibayar.
Hmmm...Jadi, menurutku, sebelum mengikuti sebuah seminar atau workshop atau pelatihan atau training atau apalah namanya, sebaiknya :
1. Pahami dengan benar info event itu. Sesuaikan dengan minat dan kebutuhan kita
2. Benahi dulu motivasi mengikuti seminar ataupun workshop. Jangan cuma mencari fasilitas gratisan.
3. Ajukan pertanyaan pada diri sendiri, "Apakah seminar ini/ workshop ini penting buatku?" dan "Kira-kira apa yang bisa aku dapat dari event ini nantinya?"
4. Jangan cuma ikut-ikutan teman. Sukanya grudag-grudug tapi ga tau arah yang jelas.
5. Selekif memilih event agar tidak merasa kecewa di akhir sesi.
6. Ahhh...tambahin sendiri yah...aku ngantuk :D
Udah ah sekian dulu uneg-unegku. sekedar tulisan pembuang mood 'males nulis' aja sih.
Ditunggu komennya ya. hoooaaahhmmm...
Metropolis -Sebuah Resensi-
Selama 4 hari ini, aku dibungkam oleh sebuah novel detektif. Sebenarnya novel ini sudah lamaaaa aku beli (a-nya banyak, menandakan 'sangat' yang 'amat'). Masih bersegel utuh dan teronggok di rak buku baru di kamar. Aku lupa kapan membelinya, tapi aku ingat beli novel itu di Gramedia Solo karena kepencut sama wajah covernya yang selintas mirip lembaran koran yang tertumpah darah. Ya begitulah seorang bookshopaholic, beli sesukanya dan entah kapan membacanya, kemudian agak menyesal ketika melihat dompet menjadi sedemikian tipis :P
Marii ke Metropolis.
Novel terbitan tahun 2009 ini ditulis oleh mbak Windry Ramadhina. Agak asing di telingaku, dan aku belum pernah membaca karya-karyanya yang lain. Tapi, begitu membuka bab pertama, jederrr...seakan aku berada pada situasi itu, bersama dengan misteri pembunuhan yang sedang diceritakan. Dimulai dengan pemakaman Leo Saada, seorang bandar narkoba di Jakarta, akibat kecelakaan tragis. Kematian Leo menambah daftar panjang pembunuhan bandar Narkoba yang tergabung dalam Sindikat 12. Sebelumnya Bram, seorang polisi yang bertugas di Sat Reserse Narkotika, tengah menyelidiki kematian Gilli yang diduga akibat perseteruan dengan geng Leo Saada. Ferry Saada dan Maulana Gilli (pewariis masing-masing sindikat) saling menyalahkan dan mencurigai atas kematian ayah mereka. Namun Bram menduga, ini merupakan pembunuhan berantai yang terjadi selama kurun waktu 1.5 tahun. Bram dan asistennya, Erik (seorang polwan), terus berusaha mencari bukti-bukti terkait pembunuhan tersebut. Langkah mereka sempat hampir terhenti ketika Atasan mereka pensiun dan digantikan oleh Burhan. Burhan tidak menginginkan Bram menangani kasus ini dan akan mengalihtugaskan kasus ke kesatuan kriminal. Bukan Bram jika dia diam saja dan menuruti apa kemauan Burhan. Bram yakin, dia segera menyelesaikan kasus ini. Apalagi kecurigaannya bertambah ketika selalu menjumpai seorang wanita (yang belakangan diketahui bernama Miaa) di setiap TKP pembunuhan atau di pemakaman. Konflik semakin rumit ketika Soko Galih dan Bung Kelinci (bandar narkoba yang tergabung dalam sindikat 12) juga terkena sasaran pembunuhan. Bram dan Erik semakin dipusingkan dengan sosok Tionghoa yang diketahui melarikan diri sesaat setelah tubuh Soko Galih terlempar dari jendela kamarnya di lantai 2.
Tinggal 2 sindikat yang 'menunggu giliran' pembunuhan itu, Shox dan Blur. Blur adalah sosok yang hampir dikatakan imajiner, tapi nyata. Ada yang pernah mengetahui sosok Blur sebagai orang berwajah lonjong yang dingin, namun ada yang mengatakan Blur itu hanya sebuah tokoh fiktif. Keduanya menyimpan rahasia masa lalu yang hanya diketahui para ketua sindikat 12. Rahasia itulah yang mengungkap siapa dalang dibalik pembunuhan berantai itu.
Sosok Aretha yang elegan dan Johan yang hampir seperti mayat hidup menambah konflik di novel ini semakin rumit. Aretha sangat disegani oleh ke-12 sindikat narkoba itu sebagai 'pencuci uang' mereka. Saking segan dan percayanya mereka terhadap wanita ini, mereka tidak pernah menduga bahwa Aretha menyembunyikan generasi sindikat narkoba terbesar sebelum adanya Sindikat 12, Johan.
Novel ini semakin manis dengan hadirnya seorang wanita muda berwajah malaikat bernama Indira. Johan mempunyai penyakit langka, leukimia kronis. Kehadiran Indira di sisinya membuatnya bertahan kala penyakit itu berulah.
deng...deng...
siapakah Johan? Siapakah Miaa? Lalu siapakah Dune? Apa itu metropolis? Siapa yang membunuh Erik?
Novel ini begitu rumit seperti novel detektif pada umumnya. Penuh konspirasi dan njelimet. Aku suka permainan kotor Bram dengan Ferry dimana Bram melindungi Ferry agar tidak masuk penjara untuk suatu informasi penting guna mengungkap pembunuhan dan peredaran narkoba di Jakarta. dan lagi, permainan konflik yang dibuat oleh penulis membuat dentuman-dentuman aneh "Kok bisa?". Ya, semuanya serba terhubung. Antara Sindikat 12, Miaa, Aretha, Johan, Shox, Saada dan si Blur yang kehadirannya tak pernah terduga sebelumnya.
Hanya satu kekurangan di novel ini. Miaa seharusnya menyadari keberadaan Blur yang masih hidup (karena pernah ditemukan mati terbunuh) ketika Burhan memintanya memberikan pesan bertuliskan "Penjaringan, 12-6". dan aku agak tidak suka dengan adegan 'yang tidak semestinya' ada di beberapa tempat. Mau tau adegan apa? Baca aja sendiri!
Sewaktu membaca novel ini, aku harus mencuri-curi waktu. Sebelum tidur, sewaktu membersihkan kamar, atau sebelum adzan maghrib. Itulah mengapa aku harus menghabiskan waktu berhari-hari membaca novel dengan 25 bab ini. Tapi pola membaca itu menimbulkan kesan yang aneh ketika aku menyelesaikannya. Kok wis rampung ya? Rasanya, suasana kantor polisi yang sumpek oleh kertas laporan, atau bau anyir darah akibat baku tembak di gudang coklat, aroma narkoba (emang pernah?), sudah demikian nyantol di kepala. Sama seperti aku menyelesaikan Harry Potter and The Deadly Hollows selama 1 minggu, rasanya seperti keluar dari Hogwart dan kembali ke dunia nyata. hehe
Novel ini recomended bagi teman-teman yang suka cerita detektif, konspirasi, misteri, tragedi atau teman penulis yang berencana bikin novel detektif. Penggambaran karakter tokohnya agak berbeda dari novel kebanyakan. Biasanya dalam sebuah novel pasti ada tokoh yang jahat (antagonis) dan ada tokoh yang putih (protagonis). Tapi dalam novel ini, tidak ada satu karakter pun yang benar-benar bersih, putih, tanpa dosa dan teraniaya. Semuanya abu-abu denga segala pencitraan yang berbeda-beda. Pokoke keren!
Warna Itu
Adakalanya aku harus memutuskan sesuatu yang aku anggap sebagai langkah awal menapak pelajaran baru dalam hidup. Seperti halnya saat aku mulai menjejak pada perkenalan dengan sebuah komunitas penulis. Apa aku penulis? tidak, cuma suka saja. Dan memang ke'suka'an ini pun harus dikandangkan dengan tepat.
Aku mengikuti perkumpulan penulis ini sekian lama hingga bosan karena tak ada follow up seperti yang aku harapkan. Abu-abu. Bukan hitam ataupun putih. Sekedar Abu-abu.
Suatu waktu, aku bertemu salah satu warna. Berkilau hingga mataku silau. Kagum dengan semangatnya, aku mulai mengintip kelompoknya. Hmm...warna-warna lain yang lebih cerah. Menulis dalam warna seperti yang ku suka. Aku suka warna dan mengutak-atik warna. karenanya aku merasa nyaman bersama warna-warna cerah di sini.
Ah, mereka begitu berwarna. Meski ada konflik, warna mereka tak pernah pudar. Aku bangga diakui mereka sebagai salah satu warna cerah yang mereka sayangi, violet. Di sini aku semakin berwarna, tertawa lepas, bergoyang lepas dan menggenjot semangat. Aku tahu mereka ada karena aku butuh..
Selang waktu, kesibukan bertambah. Warna itu kian berpencar. Mungkin menerangi ruang gelap di lorong sana, atau bergumul dengan warna lain hingga membentuk kombinasi warna yang lebih cantik. Aku tetap bangga masih bersama mereka, dan aku senang mendapati warna-warna mereka dimana-mana.
Merekalah penyemangatku untuk tetap menarikan pena, menceritakan tentang warna, bukan hitam maupun putih saja. magenta, violet, indigo, cyan.
Kenalkan pada dunia, Kami Pelangi :)
Aku mengikuti perkumpulan penulis ini sekian lama hingga bosan karena tak ada follow up seperti yang aku harapkan. Abu-abu. Bukan hitam ataupun putih. Sekedar Abu-abu.
Suatu waktu, aku bertemu salah satu warna. Berkilau hingga mataku silau. Kagum dengan semangatnya, aku mulai mengintip kelompoknya. Hmm...warna-warna lain yang lebih cerah. Menulis dalam warna seperti yang ku suka. Aku suka warna dan mengutak-atik warna. karenanya aku merasa nyaman bersama warna-warna cerah di sini.
Ah, mereka begitu berwarna. Meski ada konflik, warna mereka tak pernah pudar. Aku bangga diakui mereka sebagai salah satu warna cerah yang mereka sayangi, violet. Di sini aku semakin berwarna, tertawa lepas, bergoyang lepas dan menggenjot semangat. Aku tahu mereka ada karena aku butuh..
Selang waktu, kesibukan bertambah. Warna itu kian berpencar. Mungkin menerangi ruang gelap di lorong sana, atau bergumul dengan warna lain hingga membentuk kombinasi warna yang lebih cantik. Aku tetap bangga masih bersama mereka, dan aku senang mendapati warna-warna mereka dimana-mana.
Merekalah penyemangatku untuk tetap menarikan pena, menceritakan tentang warna, bukan hitam maupun putih saja. magenta, violet, indigo, cyan.
Kenalkan pada dunia, Kami Pelangi :)
coz friendship is colorful, coz friendship never ends.
Lelaki Terhebatku
Bagaimana jika ditanya siapakah lelaki pertama yang kamu cintai? tentunya dia orang hebat, entah secara karakter maupun cintanya. ciiee...
Bagaimana jika aku yang ditanya seperti itu?
Dia adalah seorang laki-laki super hebat dan super kreatif. Kehadirannya di hari-hariku membuat duniaku lebih berwarna. Meski kadang aku bosan bersamanya atau sekedar mutung dengan prinsipnya.
Hobi kami sama. Berkreasi dengan warna atau membuat sesuatu yang ga jelas. Hal yang sering kami lakukan tiap liburan adalah mengecat tembok, entah tembok rumah maupun tembok pagar. Mau lihat hasil karya kami? ini nih :
aku yang nglukis bingkainya, dia yang nggambar gajahnya :) |
Dia sedang asyik bikin cropcircle |
Sudah mulai nebak, siapa lelaki ini?
Kalo foto ini, mungkin kau langsung bisa menebaknya.
Dia dan karya terbaru kami saat lebaran kemarin. sebuah pohon makanan :) |
Dan, suatu hari di bulan Mei, saat aku mengatakan akan datang teman-teman pelangi bersilaturahim, dia begitu asyik memperbaiki kamar mandi yang rusak (atas permintaanku sih). Pertamanya, memang kita sepakat menggambar di temboknya. rencana ini sudah sejak lama terpikir. Namun pada prakteknya, aku terlalu sibuk (atau sok sibuk) sehingga Bapak menggambar sendiri.
Melihat lantai kamar mandi yang aduhai rusaknya, aku pengen banget lantainya diganti yang baru. Apa yang terjadi? Beliau memperbaikinya hingga jam 11 malam, hanya karena besok pagi teman-teman pelangiku datang. Aku hampir menangis karenanya.
Satu hal lagi, lihat ini
Kedua gambar ini ada di tembok kamar mandi. di sisi yang lain, ada gambar pelangi. Sayangnya, aku lupa memfotonya. Gambar ini seharusnya kami kerjakan sama-sama. Tapi aku pulang terlalu sore atau malam, tak sempat membantunya. Ibuku sempat memarahiku, karena membiarkan bapak menggambar sendiri. Kau tau apa jawaban bapak?
"Yo ra popo to, itung-itung iki dinggo hadiah ulang tahune Diah. Kan aku raiso nge'i opo-opo. yo gur gambar iki"
"Yo ra popo to, itung-itung iki dinggo hadiah ulang tahune Diah. Kan aku raiso nge'i opo-opo. yo gur gambar iki"
artinya : "Ya gapapa, itung-itung buat hadiah ulang tahunnya Diah. kan aku ga bisa ngasih apa-apa. Ya cuma gambar ini"
so sweet kan bapakku?
Dan kami selayak sahabat. rebutan remote tivi, sarapan bareng, cerita seru tiap sore, nonton tivi sampai ketiduran, dan kami punya hobi yang sama, jalan-jalan nonton pameran seni, suatu hal yang tidak disukai ibuku. Kalo saja aku ini cowok, pasti aku juga ikut bapak nonton wayang kulit semalam suntuk.
hmm...ini persahabatan kan? yeap, persahabatan yang keren antara aku dan bapak ^_^
kamu punya cerita tentang bapak? share link ya.
kamu punya cerita tentang bapak? share link ya.
Mereka Membuatku Menulis
“Wah,
sekarang sudah jadi penulis. Keren deh!"
“Selamat
ya, sudah terbit novelnya”
“Penulis,
ajarin nulis dong. Kan kamu sudah bisa nerbitin buku”
“Halah,
baru juga nerbitin novel tipis gitu. Paling-paling ga laku”
“Kok
tipis bukunya? Mahal pula!”
“Ceritanya
buat anak-anak ya mbak? Kenapa ga bikin yang remaja atau dewasa aja sih?”
Beragam ucapan orang tentangku dan
tulisanku. Ada yang memuji, ada yang mencibir. Ada yang senyum manis dan tulus,
ada yang tersenyum getir dan pahit. Namun tak banyak orang yang tahu, siapakah orang di balik
kecintaanku pada dunia tulis menulis. Banyak orang mengira, aku menulis karena bergaul dengan komunitas kepenulisan. Ya, ada benarnya sih. Tapi, komunitas penulis merupakan pijakan selanjutnya setelah peletakan batu pertama (berasa bangun gedung baru gt). Jangan kaget jika aku menceritakan tentang
sosok yang meletakkan batu pertama dan membuatku mengenal serta menyelami dunia kepenulisan. Dia bukan
penulis terkenal, dia belum punya buku atau novel satu pun, dia tidak bekerja di dunia
penerbitan, dia tidak ber-passion di
kepenulisan, dan dia tidak tergabung dalam komunitas menulis manapun. So?
Aku memanggilnya Mas Din. Seorang
sholeh berjenggot tipis dan santun. Masih sepupu jauh dan bertetangga denganku.
Entah akunya yang kuper atau memang Beliau jarang di rumah, aku bahkan baru mengenalnya
ketika aku SMA dan beliau sudah kuliah.
Waktu itu, aku amat sangat malas
sekali mengikuti kegiatan organisasi kepemudaan di kampungku. Alasanku tetap
bertahan di karang taruna adalah orang tuaku yang merupakan tokoh masyarakat. Hampir setiap pertemuan rutin,
kehadiranku hanya datang, duduk, ngemil, diam dan pulang. Aneh memang, hidup di
kampung tapi ga kenal sama tetangga sendiri. Tidak banyak teman yang aku punya. Hanya teman masa TK dan teman se-RT saja yang aku kenal.
Hingga suatu ketika, tak dinyana tak
diminta, aku dimasukkan ke dalam pengurus, khususnya keagamaan. Nah, ini
awalnya aku mencintai karang taruna. Divisi ini mempunyai program
yang keren dan banyak. Salah satunya pembuatan bulletin kampung. Ya, hanya selembar
kertas penyebar ilmu. Aku ditarik masuk ke dalam redaksi. Kala itu, sangat pantas sekali
jika aku disebut pupuk bawang atau kintilan saja. Karena selain paling
kecil ingusan dan ga mudeng
apapun, aku sangat pendiam dan pasif (lah kenapa sekarang berubah jadi brutal
gini ya?).
Tapi, Mas Din memberiku kepercayaan sehingga aku pun mencoba move on di dunia perbuletinan. Awalnya sekedar nulis artikel ringan, puisi atau jadi ‘reporter rahasia’ yang menyimak setiap obrolan hangat di kampung. Lama-kelamaan dipercaya menulis Tsaqofah dengan konten yang lebih halus, tegas dan berisi, sesuai tema bulan itu. Memang di awal-awal aku sangat malu dengan hasil tulisanku yang amat sangatnggilanik ga nggenah. Namun,
ada rasa bangga dan bahagia ketika tulisan itu dibaca orang lain, mereka tersenyum
dan mengantongi ilmu baru. Rasanya luar biasa. Sama seperti perasaanku ketika pertama kalinya (dan
satu-satunya), puisiku dimuat di Koran lokal.
Adiktif, aku ketagihan menulis.
Tapi, Mas Din memberiku kepercayaan sehingga aku pun mencoba move on di dunia perbuletinan. Awalnya sekedar nulis artikel ringan, puisi atau jadi ‘reporter rahasia’ yang menyimak setiap obrolan hangat di kampung. Lama-kelamaan dipercaya menulis Tsaqofah dengan konten yang lebih halus, tegas dan berisi, sesuai tema bulan itu. Memang di awal-awal aku sangat malu dengan hasil tulisanku yang amat sangat
Adiktif, aku ketagihan menulis.
Selain Mas Din, ada mas Bah, mas
Sigit, mas Umar, mbak Alvi, mbak Eni, mbak Roh, mas Topik, mbak Ika. Semuanya
menganggapku adek kecil yang harus disayangi dan diajari macam-macam, termasuk
belajar bersahabat. Mas Bah dengan sabar mengajariku adobe Pagemaker (sekarang udah diganti InDesign, dimana aku masih grotal-gratul pegangnya T_T). Selain itu juga mengajari tata tulis yang baik dan chruncy. Juga orang yang paling sabar menampung curhatku tentang komputer semeleketeku.
Ada mas Sigit yang memberikanku majalah-majalah ehem...agak berat. Mengajariku menjadi pribadi yang bermanfaat dengan ngajar di TPQ. Mas Umar dengan segala keceriaannya, selalu saja menjadi orang paling care. Ada mbak Roh yang mengajariku istiqomah bersama jilbab. Mbak Eni dan mbak Alvi, dua kakak hebat ini selalu ada di kala aku nangis ataupun tertawa. Di saat butuh tulisan keren, mereka akan membantu meski belum pernah iikut pelatihan menulis apapun. Mas Topik, ini nih orang paling gokil yang keren abis. Mbak Dokter Ika yang cantik, orang yang menjadi panutanku. sosok sempurna di mataku. Cantik, pinter, baik, rajin sholat, suka nraktir, pokoke keren.
Di redaksi bulletin ini, aku benar-benar mengenal bagaimana beratnya perjuangan mengejar deadline, bagaimana rasanya tulisan kita dibuang ke tong sampah oleh pembaca, bagaimana menghadapi kritikan, gunjingan dan cemoohan (maklumlah hidup di kampung). Namun, di tengah kesemrawutan yang terjadi di kampung, kami tetap berkomitmen untuk bersahabat. Tak jarang kami jalan-jalan dan makan-makan, touring ga jelas, atau sekedar rapat rutin yang berujung curhat-curhatan :D. Kadangkala, konflik kecil terjadi karena perbedaan sudut pandang atau sekedar salah paham. Persahabatan mengajarkan kami keikhlasan menerima perbedaan karakter, dan kesabaran dalam memahami satu sama lain.Dan merekalah yang membuatku memijak pada batu kepenulisan yang lebih besar sekarang ini. Meski aku sudah menulis sejak SD (bikin puisi buat ibuk), tapi kecintaan itu terbit karena adanya persahabatan ini. Aku suka menulis apalagi menuliskan persahabatan.
Ada mas Sigit yang memberikanku majalah-majalah ehem...agak berat. Mengajariku menjadi pribadi yang bermanfaat dengan ngajar di TPQ. Mas Umar dengan segala keceriaannya, selalu saja menjadi orang paling care. Ada mbak Roh yang mengajariku istiqomah bersama jilbab. Mbak Eni dan mbak Alvi, dua kakak hebat ini selalu ada di kala aku nangis ataupun tertawa. Di saat butuh tulisan keren, mereka akan membantu meski belum pernah iikut pelatihan menulis apapun. Mas Topik, ini nih orang paling gokil yang keren abis. Mbak Dokter Ika yang cantik, orang yang menjadi panutanku. sosok sempurna di mataku. Cantik, pinter, baik, rajin sholat, suka nraktir, pokoke keren.
Di redaksi bulletin ini, aku benar-benar mengenal bagaimana beratnya perjuangan mengejar deadline, bagaimana rasanya tulisan kita dibuang ke tong sampah oleh pembaca, bagaimana menghadapi kritikan, gunjingan dan cemoohan (maklumlah hidup di kampung). Namun, di tengah kesemrawutan yang terjadi di kampung, kami tetap berkomitmen untuk bersahabat. Tak jarang kami jalan-jalan dan makan-makan, touring ga jelas, atau sekedar rapat rutin yang berujung curhat-curhatan :D. Kadangkala, konflik kecil terjadi karena perbedaan sudut pandang atau sekedar salah paham. Persahabatan mengajarkan kami keikhlasan menerima perbedaan karakter, dan kesabaran dalam memahami satu sama lain.Dan merekalah yang membuatku memijak pada batu kepenulisan yang lebih besar sekarang ini. Meski aku sudah menulis sejak SD (bikin puisi buat ibuk), tapi kecintaan itu terbit karena adanya persahabatan ini. Aku suka menulis apalagi menuliskan persahabatan.
Ada pertemuan tentu berujung
perpisahan. Meski sudah regenerasi, persahabatan keredaksian itu tak pernah
sama. Hal yang paling aku takutkan saat itu adalah pernikahan. Ya, ketika salah
satu dari kami menikah, otomatis dia akan lepas dari tanggung jawab di
organisasi. Keluar dari kampung atau lebih tepatnya mengarungi samudra rumah
tangga. Dan hal itu benar-benar terjadi. Mas Din menikah pada tanggal 7 bulan ke-7 tahun 07 dan aku mengantarnya dengan hati kecut sekaligus senang. Bukan karena patah hati,
tapi takut kehilangan kakak yang memang belum pernah aku miliki sejak lahir. Actually,
aku senang karena beliau telah menggenapkan separuh agama.
Dan semua personil redaksi bulletin itu
telah berkeluarga, except me, of course. Aku kesepian, sangat kesepian. Ketika
semuanya sibuk dengan urusan masing-masing dan aku pun begitu, tapi jauh dalam
lubuk hati, aku yakin merindukan kebersamaan itu. coz friendship never ends.
Kecrohan Masa Kecil
Masa kecil tak bisa dikembalikan secara nyata. Hanya melalui kenangan yang kita simpan di lubuk memori. Begitulah. Dan ketika bercengkerama dengan seorang teman kecil (yang kini sudah beranjak tua), kita sama-sama tertawa, menertawai kekonyolan masa kecil kita.
Suatu waktu 'kecroh-kecrohan' menjadi hal yang lumrah dalam pergaulan. Bahkan sampai sekarang. Agaknya hal itu menjadi bumbu di saat reunian atau sekedar menambah basa-basi tanya kabar. Namun, mengingat masa lalu, ada dua orang teman kita satu cewek dan satu cowok yang selalu menjadi korban kebiadaban kecrohan kita, sebut saja A dan B.
Suatu waktu 'kecroh-kecrohan' menjadi hal yang lumrah dalam pergaulan. Bahkan sampai sekarang. Agaknya hal itu menjadi bumbu di saat reunian atau sekedar menambah basa-basi tanya kabar. Namun, mengingat masa lalu, ada dua orang teman kita satu cewek dan satu cowok yang selalu menjadi korban
"Ih, kamu pacare si A ya? ciiee.." kata temanku. Maka balasku pun, "Kowe kui pacare si B". dan tak jarang jika kita bereaksi jijik dengan nama itu.
Untungnya, kecroh-kecrohan itu tak berlanjut. Kami insaf. dan tetap menjadi kenangan yang indah.
Tak hanya aku dan temanku itu yang menggunakan si A dan si B menjadi bahan ejekan. Perlu diketahui, si A dan si B (mungkin) agak kurang pergaulan, agak dekil dan berbagai kekurangan fisik lainnya. Itulah mengapa mereka menjadi bahan ejekan kita, hampir semua orang di kelas.
Sampai saat ini, kadang si A dan si B masih muncul dalam obyek obrolan kami. Entah karena sekedar nostalgia atau memang mereka sudah menjadi icon kecrohan kami.
Walaupun aku selalu tertawa dan bersalto koprol dan senyum ga jelas, aku prihatin. Bagaimana perasaaan si A dan si B kalau mengetahui hal itu? bagaimana jika akulah si A atau B yang seringkali menjadi bahan ejekan karena anugrah ketidakcantikan atau ketidakgantengan?
Ketika aku berchat ria dengan seorang teman kecil (yang sekarang beranjak tua itu), kita sama-sama tertawa, menertawakan kebodohan masing-masing karena masih menggunakan nama itu untuk ejekan. Tetapi kami sama-sama berdoa, semoga si A dan si B mendapatkan pahala dari banyaknya orang yang menggunakan namanya sebagai ejekan ga bermutu.
Untungnya, kecroh-kecrohan itu tak berlanjut. Kami insaf. dan tetap menjadi kenangan yang indah.
Si A dan si B, maafkan kami ya :)
Ocehan Kecil Perindu Bahagia
Kadang kala, secuil batu menyapa kakimu, meski kau tak peduli dan kemudian menginjaknya.
Sama halnya ketika kau tak acuhkan bisikan lirih sang angin sebelum akhirnya matamu terpapar debu.
Tak ada yang bisa sempurna. Menyukai dan mencintai adalah fitrah, tapi memiliki bukan tujuannya.
Hanya secuil batu atau selaksa angin, asal tetap bersamamu atau mungkin sekedar lewat tanpa kau pedulikan. Tapi aku senang, karena secuil batu pun masih sempat menyapamu sebelum remuk terinjak ketidakpedulianmu.
Lepas dari semua itu, aku rasa aku sudah cukup jauh pergi. Meninggalkan kenangan secuil batu dan selaksa angin lirih.
Semua tersibak maya, oleh sesiapa yang merenung dan mencukupkan mata untuk berbasah.
Langkahku terangkat lagi. Bukan menjadi secuil batu yang pasrah kau injak, atau sekedar angin lirih yang lewat di belakang tengkuk. Langkahku terangkat lagi, lebih tegap, lebih siap. Untuk tetap menemukan bahagiaku sendiri, ada atau tanpamu.
*empat tahun cukup lama untuk sekedar menyimpan sobekan kertas sisa terbakar*
Sama halnya ketika kau tak acuhkan bisikan lirih sang angin sebelum akhirnya matamu terpapar debu.
Tak ada yang bisa sempurna. Menyukai dan mencintai adalah fitrah, tapi memiliki bukan tujuannya.
Hanya secuil batu atau selaksa angin, asal tetap bersamamu atau mungkin sekedar lewat tanpa kau pedulikan. Tapi aku senang, karena secuil batu pun masih sempat menyapamu sebelum remuk terinjak ketidakpedulianmu.
Lepas dari semua itu, aku rasa aku sudah cukup jauh pergi. Meninggalkan kenangan secuil batu dan selaksa angin lirih.
Semua tersibak maya, oleh sesiapa yang merenung dan mencukupkan mata untuk berbasah.
Langkahku terangkat lagi. Bukan menjadi secuil batu yang pasrah kau injak, atau sekedar angin lirih yang lewat di belakang tengkuk. Langkahku terangkat lagi, lebih tegap, lebih siap. Untuk tetap menemukan bahagiaku sendiri, ada atau tanpamu.
*empat tahun cukup lama untuk sekedar menyimpan sobekan kertas sisa terbakar*
Mati Lampu, Bulan dan Kita
Saat itu, purnama belum muncul sempurna. Seringkali ditingkah oleh sekawanan awan yang menyembunyikan cahayanya. Kami diam. Menyelami pikiran masing-masing. Mungkin berpikir tentang dunia kami yang sama sekali berbeda. Tehnik, kesehatan dan kepenulisan. Namun, tak pernah membuat kami 'berbeda' dalam bercakap. Ya, kami selalu kompak.
Tiga tahun yang lalu, purnama sama sekali tak muncul. Hanya menampil sebentuk sabit yang tersenyum menatap kami yang bercanda ria meski mati lampu sudah hampir sejam lamanya. Berbekal sebatang lilin yang menyala, atraksi wayang tangan dimulai. Entah muncul darimana ketika T-rex tiba-tiba muncul. Namun dilompati oleh kelinci dan diketawakan oleh ayam. Ah, aku selalu kalah. Imajinasiku tak seliar mereka. Tanganku tak menangkap sinyal otak untuk berkreasi. Namun, ketawa mereka membuatku bersuka.
Sepuluh tahun yang lalu, purnama benar-benar sembunyi. Mungkin kedinginan dan masuk angin karena kehujanan kemarin. Bagi kami, lilin yang hampir habis, listrik yang dipadamkan bergilir, bulan yang sembunyi, tak pernah memupus keliaran imajinasi kami untuk membuat keceriaan. Sebuah tembok kosong pun bisa kita jadikan kreasi yang mengasyikkan. Beruntung, rumah kami terletak di pinggir jalan raya yang ramai. Hal ini menjadi sumber permainan yang menyenangkan bagi kami dengan keadaan gelap seperti ini. Menebak dan memilih bayangan-bayangan pohon yang terdorong sinar lampu mobil hingga menempel di tembok. Kami tertawa, kami gembira, hingga ibu menyuruh kami untuk mengakhirinya karena malam berlanjut larut.
Dua tahun yang lalu, mati lampu datang berkali-kali dalam setahun belakangan. Dulunya kami bertiga. Kali ini berdua saja. Karena si tengah sedang berjuang di kota seberang. Sbenarnya, dia besoknya ada ulangan, maklum ujian semesteran semakin dekat. Aku diam sambil memegang bolpen, sesekali meningkahi liukan api yang bergoyang mengikuti irama angin. Dia tersenyum jengkel karena bukunya tertutup bayangan bolpen. Akhirnya kami main bakar-bakaran, mulai dari ujung bolpen, ujung sajadah, bekas bungkus permen sampai jempol pun dijajal merasakan sentuhan panas. Tapi, cuma berdua, karena yang satu hanya berkumpul ketika weekend tiba. Sedikit sepi.
Purnama bulan Mei, purnama sempurna. tapi aku duduk memandangnya sendirian. Tanpa mereka. Dan aku yakin mereka sedang memandang purnama yang sama.
Satu minggu yang lalu, mati lampu sudah sesorean, hingga malam menjelang tak jua listrik teralir sempurna. Lilin sudah menyala di dalam sana. Aku terduduk diam di antara tembok pagar. Memandang luasnya langit tanpa polusi cahaya. Bintang tak muncul karena bulan masih berdandan menyambut show purnamanya. Dan aku sendirian, tanpa mereka.
Idul Adha mubarok, tapi mati lampu lagi. Lilin tinggal satu-satunya. Tapi kami biarkan meliuk di dalam sana. Kami? Ya, bertiga kembali. Duduk berjejer di antara pintu pagar, bercerita tentang dunia masing-masing. Tentang Ospek jurusan yang lamanya 4 bulan, tentang kelahiran di dalam air, dan tentang pekerjaan baru seorang editor culun. Bahkan tentang film animasi terbaru yang belum sempat kita tonton bersama. Ya, waktu terlalu sempit untuk sekedar nonton bertiga, di kamarku, bermodal laptop, speaker aktif, dan cemilan.
Tiba-tiba bulan pucat menyinari kita. Tepat di atas kita. Kita semakin riuh tertawa dan bercerita. Juga merenungkan kebersamaan singkat ini.
Saat itu, purnama belum muncul sempurna. Seringkali ditingkah oleh sekawanan awan yang menyembunyikan cahayanya. Kami diam. Menyelami pikiran masing-masing. Mungkin berpikir tentang dunia kami yang sama sekali berbeda. Tehnik, kesehatan dan kepenulisan. Namun, tak pernah membuat kami 'berbeda' dalam bercakap. Ya, kami selalu kompak.
Semalam, mati lampu untuk kesekian kalinya di minggu ini. Seharusnya bulan sudah semakin purnama. Namun, awan sepertinya tak rela melepas kehangatan cahaya bulan. Kami duduk, dan berdua saja. Karena si bungsu telah berlalu bersama kereta malamnya. Lama merenung, bulan pun mengintip. Membagi cahayanya kepada kami, mungkin ingin memunculkan rasa yang lusa kemarin sempat ada.
Besok, purnama sempurna. dan kemungkinan, aku akan memandangnya sendiri, menikmati cahayanya sendiri.
Akhir tahun nanti, kami akan duduk di sini lagi. Menatap langit yang sama, namun bulan yang lebih indah dan mati lampu yang menyatukan. coz friendship never ends.
Cahaya bulan menusukku,
dengan ribuan pertanyaan
yang takkan pernah ku tahu
dimana jawaban itu...
bahkan letusan berapi
bangunkanku dari mimpi
sudah waktunya berdiri
mencari jawaban kegelisahan hati.
Tiga tahun yang lalu, purnama sama sekali tak muncul. Hanya menampil sebentuk sabit yang tersenyum menatap kami yang bercanda ria meski mati lampu sudah hampir sejam lamanya. Berbekal sebatang lilin yang menyala, atraksi wayang tangan dimulai. Entah muncul darimana ketika T-rex tiba-tiba muncul. Namun dilompati oleh kelinci dan diketawakan oleh ayam. Ah, aku selalu kalah. Imajinasiku tak seliar mereka. Tanganku tak menangkap sinyal otak untuk berkreasi. Namun, ketawa mereka membuatku bersuka.
Sepuluh tahun yang lalu, purnama benar-benar sembunyi. Mungkin kedinginan dan masuk angin karena kehujanan kemarin. Bagi kami, lilin yang hampir habis, listrik yang dipadamkan bergilir, bulan yang sembunyi, tak pernah memupus keliaran imajinasi kami untuk membuat keceriaan. Sebuah tembok kosong pun bisa kita jadikan kreasi yang mengasyikkan. Beruntung, rumah kami terletak di pinggir jalan raya yang ramai. Hal ini menjadi sumber permainan yang menyenangkan bagi kami dengan keadaan gelap seperti ini. Menebak dan memilih bayangan-bayangan pohon yang terdorong sinar lampu mobil hingga menempel di tembok. Kami tertawa, kami gembira, hingga ibu menyuruh kami untuk mengakhirinya karena malam berlanjut larut.
Dua tahun yang lalu, mati lampu datang berkali-kali dalam setahun belakangan. Dulunya kami bertiga. Kali ini berdua saja. Karena si tengah sedang berjuang di kota seberang. Sbenarnya, dia besoknya ada ulangan, maklum ujian semesteran semakin dekat. Aku diam sambil memegang bolpen, sesekali meningkahi liukan api yang bergoyang mengikuti irama angin. Dia tersenyum jengkel karena bukunya tertutup bayangan bolpen. Akhirnya kami main bakar-bakaran, mulai dari ujung bolpen, ujung sajadah, bekas bungkus permen sampai jempol pun dijajal merasakan sentuhan panas. Tapi, cuma berdua, karena yang satu hanya berkumpul ketika weekend tiba. Sedikit sepi.
Purnama bulan Mei, purnama sempurna. tapi aku duduk memandangnya sendirian. Tanpa mereka. Dan aku yakin mereka sedang memandang purnama yang sama.
Satu minggu yang lalu, mati lampu sudah sesorean, hingga malam menjelang tak jua listrik teralir sempurna. Lilin sudah menyala di dalam sana. Aku terduduk diam di antara tembok pagar. Memandang luasnya langit tanpa polusi cahaya. Bintang tak muncul karena bulan masih berdandan menyambut show purnamanya. Dan aku sendirian, tanpa mereka.
Idul Adha mubarok, tapi mati lampu lagi. Lilin tinggal satu-satunya. Tapi kami biarkan meliuk di dalam sana. Kami? Ya, bertiga kembali. Duduk berjejer di antara pintu pagar, bercerita tentang dunia masing-masing. Tentang Ospek jurusan yang lamanya 4 bulan, tentang kelahiran di dalam air, dan tentang pekerjaan baru seorang editor culun. Bahkan tentang film animasi terbaru yang belum sempat kita tonton bersama. Ya, waktu terlalu sempit untuk sekedar nonton bertiga, di kamarku, bermodal laptop, speaker aktif, dan cemilan.
Tiba-tiba bulan pucat menyinari kita. Tepat di atas kita. Kita semakin riuh tertawa dan bercerita. Juga merenungkan kebersamaan singkat ini.
Saat itu, purnama belum muncul sempurna. Seringkali ditingkah oleh sekawanan awan yang menyembunyikan cahayanya. Kami diam. Menyelami pikiran masing-masing. Mungkin berpikir tentang dunia kami yang sama sekali berbeda. Tehnik, kesehatan dan kepenulisan. Namun, tak pernah membuat kami 'berbeda' dalam bercakap. Ya, kami selalu kompak.
Semalam, mati lampu untuk kesekian kalinya di minggu ini. Seharusnya bulan sudah semakin purnama. Namun, awan sepertinya tak rela melepas kehangatan cahaya bulan. Kami duduk, dan berdua saja. Karena si bungsu telah berlalu bersama kereta malamnya. Lama merenung, bulan pun mengintip. Membagi cahayanya kepada kami, mungkin ingin memunculkan rasa yang lusa kemarin sempat ada.
Besok, purnama sempurna. dan kemungkinan, aku akan memandangnya sendiri, menikmati cahayanya sendiri.
Akhir tahun nanti, kami akan duduk di sini lagi. Menatap langit yang sama, namun bulan yang lebih indah dan mati lampu yang menyatukan. coz friendship never ends.
Cahaya bulan menusukku,
dengan ribuan pertanyaan
yang takkan pernah ku tahu
dimana jawaban itu...
bahkan letusan berapi
bangunkanku dari mimpi
sudah waktunya berdiri
mencari jawaban kegelisahan hati.
Antara Aku, Kau dan Mereka
Katanya, bumi itu bulat. Bagaimana jika aku berjalan ke utara dan kau ke selatan kemudian kita bertemu di balik bumi yang kita putari?
hmm...akan jadi rindu yang menemukan pelabuhan.
Katanya, bulan itu indah. Bagaimana jika kita simpan di pojok ruangan hati di mana kita sering bertemu?
mungkin akan meningkahi celotehan kita tentang masa depan.
Katanya, daun itu hijau. Bagaimana jika kau memetiknya dan aku merangkainya menjadi sebuah tiara?
kau jadi raja dan aku bangga.
Katanya, menjadi dewasa itu pilihan. Bagaimana jika kita bermain lumpur seharian, bermain perosotan di pematang sawah, mancing ikan di sungai, atau main bekel sesorean?
dunia terasa menyenangkan, sepertinya.
Katanya, dunia begitu sempit. Bagaimana kita tambahkan sedikit luapan cinta agar semua bisa bernafas lega?
mungkin bisa ditambahkan taburan meises agar lebih manis ^_^
Katanya, kopi itu pahit. Bagaimana jika aku petik sedikit gula yang ada di wajahmu agar kopimu tak lagi pahit?
ah, aku cukup minum kopi sambil melihatmu saja.
Katanya, tulisan ini semakin gombal. Bagaimana jika kau berhenti membaca kemudian kita makan coklat di pinggir pantai?
Sebenarnya sunset terlalu singkat untuk menemani kita bercerita.
Katanya, cmut sedang koplak. Bagaimana jika kau berikan saja permen sunduk dan sekotak coklat agar dia kembali ke jalan yang benar?
ah, aku akan menunggu dengan manis.
*ketika tertawa lepas bersamamu menjadi hal yang lebih dirindukan daripada jam makan siang*
Salam Nurani
"Jadi, apa gunanya kau di sini?"
Tersenyum, "Kau yang membutuhkanku,"
"Hah? Kenapa aku harus membutuhkanmu? Aku tak pernah memanggilmu" Aku semakin kesal dengan kehadirannya.
"Tapi, kau adalah aku" katanya tajam. Matanya berkilat.
"Bagaimana bisa? Sedang kau tak pernah muncul di hari-hari beratku." Mataku basah.
"Karena kau tak mengingatku, padahal aku selalu ada jika kau mau"
"Aku bingung, tapi aku senang kau ada. Tanpamu, aku tak bisa memilih jalan di persimpangan gelap itu. Tanpamu, aku tak bisa melukis bintang, di sini."
Kami bergandeng, berjalan bersama hingga dia menghilang, menyatu kembali dalam hatiku.
Tersenyum, "Kau yang membutuhkanku,"
"Hah? Kenapa aku harus membutuhkanmu? Aku tak pernah memanggilmu" Aku semakin kesal dengan kehadirannya.
"Tapi, kau adalah aku" katanya tajam. Matanya berkilat.
"Bagaimana bisa? Sedang kau tak pernah muncul di hari-hari beratku." Mataku basah.
"Karena kau tak mengingatku, padahal aku selalu ada jika kau mau"
"Aku bingung, tapi aku senang kau ada. Tanpamu, aku tak bisa memilih jalan di persimpangan gelap itu. Tanpamu, aku tak bisa melukis bintang, di sini."
Kami bergandeng, berjalan bersama hingga dia menghilang, menyatu kembali dalam hatiku.
gambar dari yessigreena.wordpress.com |
Langganan:
Postingan (Atom)