Metropolis -Sebuah Resensi-


Selama 4 hari ini, aku dibungkam oleh sebuah novel detektif. Sebenarnya novel ini sudah lamaaaa aku beli (a-nya banyak, menandakan 'sangat' yang 'amat'). Masih bersegel utuh dan teronggok di rak buku baru di kamar. Aku lupa kapan membelinya, tapi aku ingat beli novel itu di Gramedia Solo karena kepencut sama wajah covernya yang selintas mirip lembaran koran yang tertumpah darah. Ya begitulah seorang bookshopaholic, beli sesukanya dan entah kapan membacanya, kemudian agak menyesal ketika melihat dompet menjadi sedemikian tipis :P

Marii ke Metropolis. 

   Novel terbitan tahun 2009 ini ditulis oleh mbak Windry Ramadhina. Agak asing di telingaku, dan aku belum pernah membaca karya-karyanya yang lain. Tapi, begitu membuka bab pertama, jederrr...seakan aku berada pada situasi itu, bersama dengan misteri pembunuhan yang sedang diceritakan. Dimulai dengan pemakaman Leo Saada, seorang bandar narkoba di Jakarta, akibat kecelakaan tragis. Kematian Leo menambah daftar panjang pembunuhan bandar Narkoba yang tergabung dalam Sindikat 12. Sebelumnya Bram, seorang polisi yang bertugas di Sat Reserse Narkotika, tengah menyelidiki kematian Gilli yang diduga akibat perseteruan dengan geng Leo Saada. Ferry Saada dan Maulana Gilli (pewariis masing-masing sindikat) saling menyalahkan dan mencurigai atas kematian ayah mereka. Namun Bram menduga, ini merupakan pembunuhan berantai yang terjadi selama kurun waktu 1.5 tahun.  Bram dan asistennya, Erik (seorang polwan), terus berusaha mencari bukti-bukti terkait pembunuhan tersebut. Langkah mereka sempat hampir terhenti ketika Atasan mereka pensiun dan digantikan oleh Burhan. Burhan tidak menginginkan Bram menangani kasus ini dan akan mengalihtugaskan kasus ke kesatuan kriminal. Bukan Bram jika dia diam saja dan menuruti apa kemauan Burhan. Bram yakin, dia segera menyelesaikan kasus ini. Apalagi kecurigaannya bertambah ketika selalu menjumpai seorang wanita (yang belakangan diketahui bernama Miaa) di setiap TKP pembunuhan atau di pemakaman. Konflik semakin rumit ketika Soko Galih dan Bung Kelinci (bandar narkoba yang tergabung dalam sindikat 12) juga terkena sasaran pembunuhan. Bram dan Erik semakin dipusingkan dengan sosok Tionghoa yang diketahui melarikan diri sesaat setelah tubuh Soko Galih terlempar dari jendela kamarnya di lantai 2.
  Tinggal 2 sindikat yang 'menunggu giliran' pembunuhan itu, Shox dan Blur. Blur adalah sosok yang hampir dikatakan imajiner, tapi nyata. Ada yang pernah mengetahui sosok Blur sebagai orang berwajah lonjong yang dingin, namun ada yang mengatakan Blur itu hanya sebuah tokoh fiktif. Keduanya menyimpan rahasia masa lalu yang hanya diketahui para ketua sindikat 12. Rahasia itulah yang mengungkap siapa dalang dibalik pembunuhan berantai itu.
Sosok Aretha yang elegan dan Johan yang hampir seperti mayat hidup menambah konflik di novel ini semakin rumit. Aretha sangat disegani oleh ke-12 sindikat narkoba itu sebagai 'pencuci uang' mereka.  Saking segan dan percayanya mereka terhadap wanita ini, mereka tidak pernah menduga bahwa Aretha menyembunyikan generasi  sindikat narkoba terbesar sebelum adanya Sindikat 12, Johan. 
Novel ini semakin manis dengan hadirnya seorang wanita muda berwajah malaikat bernama Indira. Johan mempunyai penyakit langka, leukimia kronis. Kehadiran Indira di sisinya membuatnya bertahan kala penyakit itu berulah.

deng...deng...
siapakah Johan? Siapakah Miaa? Lalu siapakah Dune? Apa itu metropolis? Siapa yang membunuh Erik?
  Novel ini begitu rumit seperti novel detektif pada umumnya. Penuh konspirasi dan njelimet. Aku suka permainan kotor Bram dengan Ferry dimana Bram melindungi Ferry agar tidak masuk penjara untuk suatu informasi penting guna mengungkap pembunuhan dan peredaran narkoba di Jakarta.  dan lagi, permainan konflik yang dibuat oleh penulis  membuat dentuman-dentuman aneh "Kok bisa?". Ya, semuanya serba terhubung. Antara Sindikat 12, Miaa, Aretha, Johan, Shox, Saada dan si Blur yang kehadirannya tak pernah terduga sebelumnya.
Hanya satu kekurangan di novel ini. Miaa seharusnya menyadari keberadaan Blur yang masih hidup (karena pernah ditemukan mati terbunuh) ketika Burhan memintanya memberikan pesan bertuliskan "Penjaringan, 12-6". dan aku agak tidak suka dengan adegan 'yang tidak semestinya'  ada di beberapa tempat. Mau tau adegan apa? Baca aja sendiri!

  Sewaktu membaca novel ini, aku harus mencuri-curi waktu. Sebelum tidur, sewaktu membersihkan kamar, atau sebelum adzan maghrib. Itulah mengapa aku harus menghabiskan waktu berhari-hari membaca novel dengan 25 bab ini. Tapi pola membaca itu menimbulkan kesan yang aneh ketika aku menyelesaikannya. Kok wis rampung ya? Rasanya, suasana kantor polisi yang sumpek oleh kertas laporan, atau bau anyir darah akibat baku tembak di gudang coklat, aroma narkoba (emang pernah?), sudah demikian nyantol di kepala. Sama seperti aku menyelesaikan Harry Potter and The Deadly Hollows selama 1 minggu, rasanya seperti keluar dari Hogwart dan kembali ke dunia nyata. hehe

  Novel ini recomended bagi teman-teman yang suka cerita detektif, konspirasi, misteri, tragedi atau teman penulis yang berencana bikin novel detektif. Penggambaran karakter tokohnya agak berbeda dari novel kebanyakan. Biasanya dalam sebuah novel pasti ada tokoh yang jahat (antagonis) dan ada tokoh yang putih (protagonis). Tapi dalam novel ini, tidak ada satu karakter pun yang benar-benar bersih, putih, tanpa dosa dan teraniaya. Semuanya abu-abu denga  segala pencitraan yang berbeda-beda. Pokoke keren!

2 komentar:

Anonim mengatakan...

kebayang , kira2 yg punya blog ini punya buku berapa buah di rumahnya...

diahcmut mengatakan...

hahaha...mau nyumbang buku buatku? boleeehhhh bangeettt ^_^