Cuilan puzzle

Tampilkan postingan dengan label secuil imajinasi kata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label secuil imajinasi kata. Tampilkan semua postingan

Hilang


“Pokoknya aku tidak mau, Diy!” Mata Puspa berapi-api. Menatap kesal pada kakaknya itu.
“Tapi kita tidak bisa melakukan apa-apa kecuali pergi dari sini, Pus.” Dengan sabar Diyar menjelaskan.
Puspa menghentak kesal. Langkah-langkah tegasnya mengarah ke kamar dan… Darr! Pintu terbanting kasar. Diyar hanya bisa menghela nafas.

Rumah ini, sudah bukan milik mereka lagi. Bukan milik keluarga besar Suketi Jiwo lagi. Diyar tidak bisa membayar tagihan dari Pegadaian. Ya, sertifikat rumah warisan ini sudah digadaikan oleh Ayah mereka. Kecanduan judi telah membuatnya kalap. Semua isi rumah ini telah dijualnya.

Kecuali cermin tua di kamar Puspa.

Pyaar…

Lamunan Diyar terpecah. Segera dia berlari menuju kamar Puspa. Jangan-jangan…

“Puspa, buka pintunya!” Diyar mendorong sekuat tenaga, namun pintu itu bergeming.
Diyar tak habis akal. Keluarlah ia dan mendobrak jendela dari luar.

“Puspa… Puspa…” Teriaknya. Tak ada jawaban, hanya gaung suaranya yang menjelma.

Aneh. Tidak ada siapa-siapa di kamarnya.
Diyar semakin bingung.
Lebih aneh lagi, cermin tua itu masih utuh. Tidak seperti dugaannya tadi.

Tapi,
“Puspa?”
Diyar menatap sebuah bayangan yang semula menampilkan sosok dirinya sendiri.
Namun, kini berubah menjadi dua sosok perempuan, Puspa dan Ibu.

“Diyar, maafkan kami. Kami harus kembali. Dunia kita berbeda.”


Suara merdu ibu sayup tenggelam dan hilang dalam cermin tua.

Warna Itu

Adakalanya aku harus memutuskan sesuatu yang aku anggap sebagai langkah awal menapak pelajaran baru dalam hidup. Seperti halnya saat aku mulai menjejak pada perkenalan dengan sebuah komunitas penulis. Apa aku penulis? tidak, cuma suka saja. Dan memang ke'suka'an ini pun harus dikandangkan dengan tepat.

Aku mengikuti perkumpulan penulis ini sekian lama hingga bosan karena tak ada follow up seperti yang aku harapkan. Abu-abu. Bukan hitam ataupun putih. Sekedar Abu-abu.

Suatu waktu, aku bertemu salah satu warna. Berkilau hingga mataku silau. Kagum dengan semangatnya, aku mulai mengintip kelompoknya. Hmm...warna-warna lain yang lebih cerah. Menulis dalam warna seperti yang ku suka. Aku suka warna dan mengutak-atik warna. karenanya aku merasa nyaman bersama warna-warna cerah di sini.

Ah, mereka begitu berwarna. Meski ada konflik, warna mereka tak pernah pudar. Aku bangga diakui mereka sebagai salah satu warna cerah yang mereka sayangi, violet. Di sini aku semakin berwarna, tertawa lepas, bergoyang lepas dan menggenjot semangat. Aku tahu mereka ada karena aku butuh..

Selang waktu, kesibukan bertambah. Warna itu kian berpencar. Mungkin menerangi ruang gelap di lorong sana, atau bergumul dengan warna lain hingga membentuk kombinasi warna yang lebih cantik. Aku tetap bangga masih bersama mereka, dan aku senang mendapati warna-warna mereka dimana-mana.

Merekalah penyemangatku untuk tetap menarikan pena, menceritakan tentang warna, bukan hitam maupun putih saja. magenta, violet, indigo, cyan.

Kenalkan pada dunia, Kami Pelangi :)


coz friendship is colorful, coz friendship never ends.

Ocehan Kecil Perindu Bahagia

Kadang kala, secuil batu menyapa kakimu, meski kau tak peduli dan kemudian menginjaknya.
Sama halnya ketika kau tak acuhkan bisikan lirih sang angin sebelum akhirnya matamu terpapar debu.

Tak ada yang bisa sempurna. Menyukai dan mencintai adalah fitrah, tapi memiliki bukan tujuannya.
Hanya secuil batu atau selaksa angin, asal tetap bersamamu atau mungkin sekedar lewat tanpa kau pedulikan. Tapi aku senang, karena secuil batu pun masih sempat menyapamu sebelum remuk terinjak ketidakpedulianmu.

Lepas dari semua itu, aku rasa aku sudah cukup jauh pergi. Meninggalkan kenangan secuil batu dan selaksa angin lirih.
Semua tersibak maya, oleh sesiapa yang merenung dan mencukupkan mata untuk berbasah.

Langkahku terangkat lagi. Bukan menjadi secuil batu yang pasrah kau injak, atau sekedar angin lirih yang lewat di belakang tengkuk. Langkahku terangkat lagi, lebih tegap, lebih siap. Untuk tetap menemukan bahagiaku sendiri, ada atau tanpamu.


*empat tahun cukup lama untuk sekedar menyimpan sobekan kertas sisa terbakar*

Antara Aku, Kau dan Mereka


Katanya, bumi itu bulat. Bagaimana jika aku berjalan ke utara dan kau ke selatan kemudian kita bertemu di balik bumi yang kita putari?
hmm...akan jadi rindu yang menemukan pelabuhan.

Katanya, bulan itu indah. Bagaimana jika kita simpan di pojok ruangan hati di mana kita sering bertemu?
mungkin akan meningkahi celotehan kita tentang masa depan.

Katanya, daun itu hijau. Bagaimana jika kau memetiknya dan aku merangkainya menjadi sebuah tiara?
kau jadi raja dan aku bangga.

Katanya, menjadi dewasa itu pilihan. Bagaimana jika kita bermain lumpur seharian, bermain perosotan di pematang sawah, mancing ikan di sungai, atau main bekel sesorean?
dunia terasa menyenangkan, sepertinya.

Katanya, dunia begitu sempit. Bagaimana kita tambahkan sedikit luapan cinta agar semua bisa bernafas lega?
mungkin bisa ditambahkan taburan meises agar lebih manis ^_^

Katanya, kopi itu pahit. Bagaimana jika aku petik sedikit gula yang ada di wajahmu agar kopimu tak lagi pahit?
ah, aku cukup minum kopi sambil melihatmu saja.

Katanya, tulisan ini semakin gombal. Bagaimana jika kau berhenti membaca kemudian kita makan coklat di pinggir pantai?
Sebenarnya sunset terlalu singkat untuk menemani kita bercerita.

Katanya, cmut sedang koplak. Bagaimana jika kau berikan saja permen sunduk dan sekotak coklat agar dia kembali ke jalan yang benar?
ah, aku akan menunggu dengan manis.



 *ketika tertawa lepas bersamamu menjadi hal yang lebih dirindukan daripada jam makan siang* 

My May

ku pintal kapas impian
menjalin satu demi satu benang harapan
menyilangkannya dg benang kesabaran dan ketekunan
menjadikannya selembar kain usaha
ku polakan dg rencana hidup
kemudian menjahitnya dg benang prestasi
beroleh baju tuk lindungi diri
dari panas keputusasaan dan dingin kesengsaraan.

Gelas -Sebuah Refleksi Emosi-

Sebuah gelas diam membisu di hadapanku. Sama seperti keadaanku. Diam membisu, sengaja menutup mulut. aku menyentuhnya perlahan. Menggoyang-goyangkan setengah air teh yang tak lagi hangat. Tanganku masih ingin memegangnya, tapi ada dorongan lain yang mencoba menggerakkanku untuk berbuat yang lebih.

"Banting saja aku!" kata gelas itu. "Biar mereka tahu, kau tidak suka pembicaraan ini. Mulut mereka akan berhenti berucap karena terkalahkan oleh suara tubuhku yang remuk"

Aku tetap membeku mendengarnya. Membeku karena dadaku mengeras. Ingin sekali aku meluapkannya ke tangan yang memegang gelas itu. Aku menimang-nimangnya, kemudian... Aku meletakknya kembali ke meja.

Aku diam kaku, berharap Profesor Agasha datang membawakanku headset penyaring suara galau, atau tiba-tiba diculik alien dan dibuang ke negeri antah berantah, agar aku tak lagi mendengarkan pembicaraan ini.


"Hei, apa yang kau tunggu? Cepat banting saja tubuhku ke pintu!" Lagi-lagi gelas itu membujuk. Aku heran, kenapa dia rela menyerahkan dirinya dihancurkan olehku?. Ah, gelas ini sedang galau rupanya dan mencoba bunuh diri.

Aku tetap tak peduli. Sama seperti ketidakpedulianku pada tatapan mereka. Yeah, aku tersangka utama sekaligus korban disini. Mengeja air mata yang masih berhasil terbendung di kubangan mata. Taukah kalian siapa aku ini dan mengapa semua ini bisa terjadi? Karena aku bodoh dan bosan. Itu saja. Jadi, ketika kalian mengorek lebih dalam siapa yang paling bersalah dan siapa anggota yang lain (yang juga bersalah), akulah orangnya dan akulah pelaku tunggal kasus ini.

Ah, mana kalian peduli, karena kalian hanya menganggapku sebagai korban. Mencari penyelesaian yang sama sekali tidak aku harapkan. Mencari kambing hitam dan menyalahkan keadaan bukan menyelesaikan masalah, karena pokok masalah hanya padaku.

Aku hanya bosan dengan segala birokrasi rumit itu. Membuatku terombang-ambing, terbuang, tersiakan oleh kegagalan. Yeah, aku mudah menyerah, tapi tak sepenuhnya menyerah. Aku bertahan meski tak ada yang kulakukan. Aku kebingungan meski tak paham apa yang aku bingungkan.
Benar-benar kegalauan yang nyata.

Gelas coklat dengan air teh setengah tubuhnya itu diam. Menatap bersalah ke arahku dan ke arah mereka satu persatu. Mungkin jika dia bisa menggerakkan tubuhnya, dia akan menumpahkan isinya ke kepalaku yang tak bosan-bosan berpikir tentang kegagalan.

Aku hanya bisa tersenyum gila. Aku hanya melakukan apa yang aku sukai, mengejar mimpi-mimpiku sendiri yang masih mampu aku kejar, dan bukan mimpi-mimpi mereka.
Ya, hari-hariku kemarin memang dianggap tak berguna. Tapi aku sangat menikmatinya.

Aku mengambil gelas coklat bening itu. Meneguk semua isinya dan membiarkannya termandikan oleh air kehidupan di wastafel perubahan.

Tunjuk saja !

di sana...
aku melihat bintang sedang bertaruh
begitu masyuk dalam helat malam
sengaja mempertontonkan kekompakan
demi terwujud gelat rasa

di sana...
ada sekelompok awan gelap sedang bercengkrama
seloroh ringan penuh cibir
sejenak terlelap karena desau angin memabukkan
bahkan tak sadar bahwa telah tercerai menjadi titik hujan

mungkin angin paling bebas
dan disana pula...
bergerak lincah menyusup diantara ketiak langit
menerbangkan segenap rusuk-rusuknya
sambil berkata, "AKU HEBAT"

ya masih saja disana...
aku tetap berdongeng seperti biasa
kadang juga bernyanyi
tapi paling sering berkhayal...

dan di sana ituuu...
aku rasakan dingin, tapi aku suka
dan aku ingin berbagi kepadamu
terutama sebentuk hati yang kusulam sendiri

lihat disana...
itu disana...
tidakkah kau lihat ke arah mana telunjukku??

Bintang Terbang Berkeliling

"Papah, lihat apa yang ku temukan!" seru Prita, setengah berlari. Ayahnya mendekat dengan penasaran. Melihat dengan seksama benda kecil di tangan anak semata wayangnya.
"Lihat, pah. aku menemukannya di sela-sela rumput. kasihan..." ujarnya sambil terus mengusap benda itu dengan ujung jarinya. "Pah, aku ingin menyimpan sinarnya dan memeliharanya. boleh kan?"
Ayahnya tersenyum. Mengusap rambut berponi itu dengan penuh cinta. "Anakku sayang, kamu suka sinarnya ya?"
Prita mengangguk, mengiyakan kata-kata ayahnya. Mata polosnya mengedip manja. Memohon ayahnya mengabulkan keinginannya.
"Dia memang masih bersinar, tetapi redup. lihat, tubuhnya pun lemah. bahkan ta bergerak" jelas sang ayah lembut. "tapi,pah. dia cuma kecapekan terbang. nanti kalo sudah istirahat, pasti sinarnya menerangiku." sanggah prita.
Ayah mengambil benda kecil itu dan menaruhnya di meja. "Lihat,nak. dia sudah tidak bergerak. bahkan sinarnya mulai hilang."
Prita mengikuti telunjuk ayahnya. Menatap dengan penuh cemas."Apa dia sudah mati?"
"Kita cari sinar yang lain saja ya" kata sang ayah, bijak.
Prita menunduk dan terdiam. "aku suka sinarnya yang kerapkali ku lihat terbang berkeliling taman. aku ingin sinarnya menerangi kamarku, menemani kesepianku dan menghibur gundahku,pah"
"sayang, kadang sesuatu yang kita sukai tak dapat kita raih. bahkan ketika sesuatu itu dapat kita punyai,namun dia tak bisa membersamaimu karena tak sanggup. kadang kita merasa mampu merawatnya, namun ternyata kita malah menyakitinya. "

Prita diam dan mengangguk.
Kemudian dia berjalan menuju pintu sambil membawa sinar yg mulai menghitam di tangannya. "Mau kemana, nak?" tanya Ayah. "Aku ingin memberikan yang terbaik untknya, menguburkannya dengan layak dan mendoakannya. semoga dia tetap bersinar di alam barunya."
"Ayo papah bantu!"
mereka berdua berjalan menuju taman belakang rumah, dimana seringkali bintang-bintang menari terbang berkeliling.


*dan dia membawa lenteranya tuk terangi malam-malamku
beterbangan di sekeliling gelapku
namun tak dapat ku sentuh
karena lincah sinarnya akan redup jika di tanganku

Shadow March *Robert Louis Stevenson*

Shadow March

*Robert Louis Stevenson*




All around the house is the jet-black night

It stares through the window-pane

It crawls in the corners, hiding from the light

And it moves with the moving flame.



Now my little heart goes a beating like a drum,

With the breath of the Bogies in my hair

And all around the candle and the crooked shadows come

And go marching along up the stair.



The shadow of the balusters, the shadow of the lamp,

The shadow of the child that goes to bed--

All the wicked shadows coming tramp, tramp, tramp,

With the black night overhead.

serpihan sandung

menitik semangat yang kian memudar
dalam hempasan tekanan membunuh dan menenggelamkan
sepi terikat seuntai kecewa
atas kepengecutan
atas kettidakjelasan
atas keputusasaan

himpitan yang tak lagi melonggar
semakin menipiskan hati tuk tetap tegar menghadapi karang prahara
tiupan badai tak jua mereda,
menerbangkan asa tuk semakin melangit

tangisan nyawa yang usang
semakin rapuh oleh getir yang tak kunjung berakhir
atas keterbekuan yang janggal
atao kecemburuan yang tak bisa di cerna

aku diam tapi terluka
aku bicara hanya tuk mengeluh
haruskah terus seperti ini?
TIDAK!!
aku bukan lemah
hanya malas
dan ringkih

tapi ini hidup
ini langkah
yang harus terus
dan terus berlari
takkan berhenti walau tersandung

ini aku yang baru
tak lagi dengan semangat usang
tapi dengan tekat yang tetap melekat

2011

Jalan selalu ada untuk dilalui
waktu selalu ada untuk dinikmati
langkah selalu ada untuk dijalani

aku bisa...
2011.2011.2011.2011.2011.2011

*menulis mimpi dan berusaha mewujudkannya*

sembunyi untuk hujan...

sejak mendung itu mengintip di sela panas
aku tak tahan untuk merasa sebal
setetes saja, dan aku akan sembunyi


ya, aku tidak suka hujan...

ingin teriak...aaaaaaa

seandainya bisa, aku ingin berteriak

agar dunia tahu apa mauku

agar mereka tahu apa maksudku

agar dia tahu bagaimana perasaanku


tapi

aku hanya bisa berbisik pada malam

bahwa aku merindukannya...

Aku dan Sepi takkan Sembunyi

selayaknya sang mentari tersambut malam
diam, tenang dan tenggelam
saat untuk berpisah dengan alam
menutup hari menyepuh kelam

seperti itukah aku?
harus sembunyi di balik ketiak waktu
ketika lembayung tlah turun melaju
dan telah tiba saatnya aku terpaku?

sungguh tak dapat dirasa sempurna
koyakan hati berlanjut problema yang merana
senyum sinisku bukan menyimpan kekalahan
tetapi kemenangan yang siap dilahirkan

hanya saja, akku tak kuasa
lelah menahan rasa
menyimpan kenangan yang tersisa
ah, setidaknya aku tak kan tersiksa
karna senyumku cukup tuk menutup laksa

yaa...aku akan terus bernyanyi
lewat cinta yang tersabut pergi
melagukan sepi yang sendiri
tapi bahagia tlah menanti

aku dan sepi
takkan sembunyi...

Puisi Pengantar Mimpi

hanya berpaut sepi diujung malam
seharusnya aku tak disini
menanti hal yang tak seharusnya ku nanti

rasa kantukku yang tak kunjung datang

seharusnya aku bangga,
agar aku bisa meneruskan bernyanyi
mencelotehkan segala rasa yang tlah binasa
menuliskan semua beban yang tlah menekan

tapi,
hanya jangkrik kecil penawar sunyi
memastikan dirinya ratu malam ini
mencintai malam dengan sepenuh jiwa
meski raganya menyembunyi dibalik kegelapan

ahhh...seonggok daging ini masih terus berkoar
merintih menguap tanpa kantuk yang sangat
mana hasilmu?
tidakkah seharusnya koordinasi otakmu dengan tangan mencipta suatu teori?
kenapa engkau berpuisi bersama malam yang kunjungannya selalu pekat

hmmm...setidaknya aku belajar bicara pada langit
agar dia menjawab interogasi singkatku
dimana tersembunyi bintang itu?
diculik oleh mega hitam ataukah menunggui sang bulan yang sedang sekarat
aku tak berani berspekulasi dengan memanggilnya dan memintanya datang
karena tak mungkin dia mendengar

desah nafas malam semakin berat dalam buai dingin yang menusuk
saatnya untuk kembali menyulam cerita
menguatkan imajinasi liar yang bebas berekspresi
yang tak pernah terkekang aturan-aturan kaku
aku dan malam akan bersatu
menyusup di kolong langit
mengintip di ujung sakit
kembali menyusun imaji yang melejit

let's go to nightmare!

Tempat SAmpah...

satu kertas bergelung kesal masuk ke kerongkonganku
rasanya pun tak enak
hah...tentu saja itu busuk
namanya juga sampah
~meski sampahku sendiri~

satu demi satu sampah-sampah itu berjejalan menyesakkanku
tak ada ampun tak ada iba
bahkan ketika pendaur ulang di dasar jiwaku
belumlah siap menyulap sampah menjadi perhiasan
~meski sampahku sendiri~

dan tempat sampah, itulah julukanku
sampah, itulah yang ada

satu demi satu benda asing menyapaku
memperkenalkan diri sebagai sampah juga meski aku tahu baunya beda
busukan mana dari sampahku?
sama-sama busuk
tapi aku terima,
meski aku tak tahu apakah pendaur ulangku bisa memberikan apa yang dia harapkan?
~ya, bukan sampahku, yg membutuhkan pendaur ulangku~

dan tempat sampah, itulah julukanku
sampah, itulah yang ada
berusaha mendaur ulang dengan warna-warni ilmu
meski aku tahu, belum pantas

tinggallah kesesakan ini mengoyak
sedikit air mata sepertinya cukup memadamkan asap
sedikit waktu untuk bernafas cukup melegakan rongga rasa
dan aku tetap berdiri...
menjadi tempat sampah yang berusaha tersenyum
dan memberi daur ulang yang belum sempurna untuk semua
agar tak mencemari kehidupan
~meski mencemari rongga rasaku~


~cmut~

Kembar yang Sama Sekali tak Kembar

"Hei, bukankah itu sepatu punyaku?"

"Enak saja kau bilang, kita kan punya masing2. memang sih sama saja, seperti yang selalu orang2 berikan untuk kedua anak kembarnya. Tapi ciumlah baunya, tak sebau kakimu!"

"Hoh? apa kau pernah membaui kakiku, wahai saudara kembarku yang sama sekali tak kembar?"

"Buat apa membaui kakimu? dari kejauhan pun sudah pasti itu baumu. eh, apa tadi kau bilang? saudara kembar yang sama sekali tak kembar? hmmm... kata2 yang bagus. karena aku tak mau sama denganmu!"

"Oya...kau pikir aku mau sama denganmu, berjalan denganmu sepanjang hari, setiap waktu, berpakaian sama, bergerak sama. aku bosan. Aku juga ingin bebas menjadi diriku sendiri, dan tak selalu bersamamu seperti ini."

"Hah...sebenarnya kita sudah jadi diri sendiri. kau dengan watak dan duniamu, aku dengan karakter dan duniaku sendiri. hanya saja kita terperangkap dalam satu, fisik yang sama. dan kita sudah menyadari ini sejak lama, dan kau pun telah menerima keadaan ini. Ingatkan janji kita? lalu, haruskah kita memperdebatkan lagi?"

"Hffftttt...(menghela nafas panjang). Aku tahu, aku telah berjanji. hanya saja, aku ingin sendiri, tapi tentu saja kau tahu, aku tak bisa membunuhmu. meskipun, sebenarnya kau seringkali bangun disaat aku tidur, terjaga dan bergerak, entahlah apa yang kau kerjakan, karena aku tak pernah sadar. baiklah..."

"Baiklah? apa?"

"Entahlah...hanya...aku berpikir untuk menghilangkanmu dari hidupku,"

"Apa? apa yang akan kau lakukan? hahahahaha...kau takkan pernah bisa, kembarku sayang. aku adalah kamu. kau akan mati jika kau membunuhku."

"Hmmmm...("bener juga", bicara dalam hati). baiklah, aku menyerah. aku mau tidur, leleh aku denganmu. terserah apapun yang terjadi nanti."


*Readers, dapatkah kalian menebak apa yang sebenarnya terjadi diantara kedua orang tersebut?

bila ini bermakna,maka aku ikhlas dan bahagia

bila memang tangis menjadi tawa pada akhirnya
biarkan mengalir menuruti rintihan hati

bila memang kegagalan menjadi kesuksesan pada akhirnya
ingatkan aku tuk tetap tegar

bila memang kesedihan menjadi awal bahagiaku
ingatkan aku tuk tetap mensyukuri takdirMu

bila memang kecewa berakhir dg kepuasan
ikhlaskan hati dan biarkan maaf mengalir lancar

bila memang kerasnya batu sandungan akan melebur menjadi debu pada akhirnya
biarkan air ketabahanku menetes sdikit demi sedikit

dan bila kehidupan dunia hanya sebutir waktu dibanding kehidupan akhirat
ijinkan aku menjadi penghuni jannahMu

aku bukan dia...

ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh.............

aku adalah aku....
dia adalah dia....

biarkan saja dia di jalannyadan aku dijalanku
jangan disamakan! karena rintangan jalan kami memang beda

tolong pahami aku!
aku sedang berjuang bersama pelangi di jalanku ini