Mati Lampu, Bulan dan Kita

Saat itu, purnama belum muncul sempurna. Seringkali ditingkah oleh sekawanan awan yang menyembunyikan cahayanya. Kami diam. Menyelami pikiran masing-masing. Mungkin berpikir tentang dunia kami yang sama sekali berbeda. Tehnik, kesehatan dan kepenulisan. Namun, tak pernah membuat kami 'berbeda' dalam bercakap. Ya, kami selalu kompak.

Tiga tahun yang lalu, purnama sama sekali tak muncul. Hanya menampil sebentuk sabit yang tersenyum menatap kami yang bercanda ria meski mati lampu sudah hampir sejam lamanya. Berbekal sebatang lilin yang menyala, atraksi wayang tangan dimulai. Entah muncul darimana ketika T-rex tiba-tiba muncul. Namun dilompati oleh kelinci dan diketawakan oleh ayam. Ah, aku selalu kalah. Imajinasiku tak seliar mereka. Tanganku tak menangkap sinyal otak untuk berkreasi. Namun, ketawa mereka membuatku bersuka.

Sepuluh tahun yang lalu, purnama benar-benar sembunyi. Mungkin kedinginan dan masuk angin karena kehujanan kemarin. Bagi kami, lilin yang hampir habis, listrik yang dipadamkan bergilir, bulan yang sembunyi, tak pernah memupus keliaran imajinasi kami untuk membuat keceriaan. Sebuah tembok kosong pun bisa kita jadikan kreasi yang mengasyikkan. Beruntung, rumah kami terletak di pinggir jalan raya yang ramai. Hal ini menjadi sumber permainan yang menyenangkan bagi kami dengan keadaan gelap seperti ini. Menebak dan memilih bayangan-bayangan pohon yang terdorong sinar lampu mobil hingga menempel di tembok. Kami tertawa, kami gembira, hingga ibu menyuruh kami untuk mengakhirinya karena malam berlanjut larut.

Dua tahun yang lalu, mati lampu datang berkali-kali dalam setahun belakangan. Dulunya kami bertiga. Kali ini berdua saja. Karena si tengah sedang berjuang di kota seberang. Sbenarnya, dia besoknya ada ulangan, maklum ujian semesteran semakin dekat. Aku diam sambil memegang bolpen, sesekali meningkahi liukan api yang bergoyang mengikuti irama angin. Dia tersenyum jengkel karena bukunya tertutup bayangan bolpen. Akhirnya kami main bakar-bakaran, mulai dari ujung bolpen, ujung sajadah, bekas bungkus permen sampai jempol pun dijajal merasakan sentuhan panas. Tapi, cuma berdua, karena yang satu hanya berkumpul ketika weekend tiba. Sedikit sepi.

Purnama bulan Mei, purnama sempurna. tapi aku duduk memandangnya sendirian. Tanpa mereka. Dan aku yakin mereka sedang memandang purnama yang sama.

Satu minggu yang lalu, mati lampu sudah sesorean, hingga malam menjelang tak jua listrik teralir sempurna. Lilin sudah menyala di dalam sana. Aku terduduk diam di antara tembok pagar. Memandang luasnya langit tanpa polusi cahaya. Bintang tak muncul karena bulan masih berdandan menyambut show purnamanya. Dan aku sendirian, tanpa mereka.

Idul Adha mubarok, tapi mati lampu lagi. Lilin tinggal satu-satunya. Tapi kami biarkan meliuk di dalam sana. Kami? Ya, bertiga kembali. Duduk berjejer di antara pintu pagar, bercerita tentang dunia masing-masing. Tentang Ospek jurusan yang lamanya 4 bulan, tentang kelahiran di dalam air, dan tentang pekerjaan baru seorang editor culun. Bahkan tentang film animasi terbaru yang belum sempat kita tonton bersama. Ya, waktu terlalu sempit untuk sekedar nonton bertiga, di kamarku, bermodal laptop, speaker aktif, dan cemilan.
Tiba-tiba bulan pucat menyinari kita. Tepat di atas kita. Kita semakin riuh tertawa dan bercerita. Juga merenungkan kebersamaan singkat ini.

Saat itu, purnama belum muncul sempurna. Seringkali ditingkah oleh sekawanan awan yang menyembunyikan cahayanya. Kami diam. Menyelami pikiran masing-masing. Mungkin berpikir tentang dunia kami yang sama sekali berbeda. Tehnik, kesehatan dan kepenulisan. Namun, tak pernah membuat kami 'berbeda' dalam bercakap. Ya, kami selalu kompak.

Semalam, mati lampu untuk kesekian kalinya di minggu ini. Seharusnya bulan sudah semakin purnama. Namun, awan sepertinya tak rela melepas kehangatan cahaya bulan. Kami duduk, dan berdua saja. Karena si bungsu telah berlalu bersama kereta malamnya. Lama merenung, bulan pun mengintip. Membagi cahayanya kepada kami, mungkin ingin memunculkan rasa yang lusa kemarin sempat ada.

Besok, purnama sempurna. dan kemungkinan, aku akan memandangnya sendiri, menikmati cahayanya sendiri.

Akhir tahun nanti, kami akan duduk di sini lagi. Menatap langit yang sama, namun bulan yang lebih indah dan mati lampu yang menyatukan. coz friendship never ends.

Cahaya bulan menusukku,
 dengan ribuan pertanyaan
yang takkan pernah ku tahu
dimana jawaban itu...
bahkan letusan berapi
bangunkanku dari mimpi
sudah waktunya berdiri
mencari jawaban kegelisahan hati.



Tidak ada komentar: