Obituari Senja


          Biru di pagi itu, terasa ada yang beda. Perasaan tidak enak tanpa tahu sebabnya. Perasaan ini sudah berkubang sejak 2 hari sebelumnya. Tepatnya, saat aku melintasi jalan Solo-Purwodadi dan berpapasan dengan bis kota yang dulu sering aku tumpangi ke sekolah, bersamanya dan teman-teman yang lain. Di hari itu juga, aku memimpikannya dan mereka tentang masa SMA.
          Masa SMA yang tak terlupakan. Dia bukan teman satu SMA denganku. Dia hanya seorang cowok dari SMA lain yang sedang naksir berat sama sahabatku. Kebetulan, dia sering naik bis yang sama denganku tiap hari walaupun tujuan kita tak sama. Dulu, aku merasa risih karena dia dekat denganku agar bisa PDKT dengan sahabatku. Tapi lama-lama kami menjadi teman akrab. Aku tak pernah keberatan menyampaikan salam atau menemaninya bertandang ke rumah sahabatku. Dia adalah teman yang menyenangkan.
          Hal yang sama dialami oleh teman-teman se-SMAku yang ‘kebetulan’ kenal dengannya. Ya, dia orang yang sangat care. Selain supel, dia tak pernah berhenti membuat orang lain terhibur atau sedikit termotivasi dengan celotehannya selama perjalanan ke sekolah. Bahkan sampai lulus SMA pun, dia tetap menjalin komunikasi denganku. Menelepon untuk sekedar bertanya kabar atau bercerita panjang lebar tentang kehidupannya di kota besar.
          Hingga pertengahan Ramadhan lalu, telepon terakhirnya untukku. Aku hanya agak kaget, karena dia meneleponku setelah tarawih. Biasanya dia hanya meneleponku saat pagi hari sebelum kuliah atau berangkat kerja. Kali ini, dia bercerita panjang lebar tentang nostalgia perjuangan cintanya semasa SMA. Ya, aku tahu benar cerita itu. Bagaimana dia harus jatuh dan bangun menggapai cinta pertamanya, hingga bagaimana dia bisa move on untuk membangun cinta yang lain. Cerita konyol masa lalu tentang bis sekolah jam 6 pagi, nongkrong di terminal sampai senja, menyusup di kegiatan sekolah, semuanya membuatku tertawa dan bahagia. Dia juga bercerita tentang kebahagiaannya bersama istrinya yang shalihah. Tentang kehamilan istrinya yang begitu disayanginya. Tentang menanti kehadiran buah hati yang sangat dirindukannya.
Di tengah cerita, dia memintaku untuk menuliskan kisahnya menjadi sebuah novel. Dia ingin menginspirasi orang lain bahwa hidup itu harus diperjuangkan, bukan menguatkan kelemahan tetapi memaksimalkan kekuatan. Aku hanya mengiyakan, walau sedikit memprotes, "biasanya cerita seperti ini ditulis ketika orang itu sudah tua, pensiun, sukses gitu". tapi Dia hanya tertawa. Akhirnya, aku berjanji akan mencobanya, tetapi aku harus tahu cerita lengkapnya (karena kita sudah jarang bertemu sejak lulus SMA). dia berjanji akan bertemu denganku ketika pulang kampung akhir tahun. Ya, dia sekarang sudah bisa membeli rumah mungil di Kalimantan Selatan, tempatnya mendulang kesuksesan.
             Di akhir teleponnya, dia mendoakanku lebih panjang dari biasanya. Doa yang tulus dan terasa lebih menyejukkan hingga mataku basah. Entahlah, tapi aku baru sadar, dia teman yang luar biasa.
              Biru di senja itu, terasa ada yang beda. Senja di Sabtu biru. Sebuah pesan di FB membuat jantungku berdegup keras. Dia meninggal dunia. Dengan gemetar, aku raih handphone kemudian mengirim pesan singkat ke pengirim pesan FB itu. Aku tak percaya! Aku tak percaya! Benar-benar tak dapat dipercaya. Baru kemarin dia berkomentar di status FB-ku. Baru beberapa hari ini, dia banyak berkomunikasi di FB (apdet statusnya lebih banyak dan lebih bijak daripada biasanya). Seakan baru kemarin dia meneleponku. Bahkan sampai sekarang aku masih mengingat jelas suaranya, ketawanya, senyumnya, kegokilannya.
              Aku buka wall FB-nya. Penuh dengan ucapan duka cita. Dia meninggal karena serangan jantung. Hal yang tak pernah terduga sebelumnya. Dia tak pernah merokok, minum minuman keras atau yang aneh-aneh. Dia orangnya lurus-lurus saja. Rajin sholat dan ngaji meski tak sampai berjenggot tipis atau bercelana jegrang, kalau kata orang. Dia juga bukan workaholic, istirahat cukup. Tapi, ketetapan-Nya siapa yang bisa menduga?
           Hari ini, hari keempat sepeninggalnya, masih ada sms dari teman se-SMA-ku yang mengenalnya sejak SMP. Tak ada yang percaya kalau dia telah meninggal. Aku pun juga. Aku hanya merasa, dia sedang pergi jauh, tanpa pamit, dan akan kembali. Sama seperti kepergiannya dulu ke Ibukota atau ke Pulau Sumatra dan Kalimantan demi memaksimalkan ‘kekuatan’nya. Dia tak pernah pamit, tetapi selalu memberi kabar. Ya, kali ini dia pergi sangat jauh, tanpa pamit, dan tak pernah kembali. Tapi di hatiku, di hati teman-teman yang menyayanginya, di hati istri yang mencintainya, di hati orang tuanya dan keluarga yang mengasihinya, dia tetap hidup.

           Hai, Sutrisno. Nama sederhanamu, tak sesederhana pribadimu. Nama sederhanamu, tak sesederhana persahabatan kita. Kau tetap menjadi teman dan sahabat baikku, kami dan semuanya. Suara, canda tawa, airmatamu, masih terekam jelas di ingatanku. Doamu adalah penyemangatku. Terima kasih. Tunggulah kami di alam sana. Kita akan bertemu di surga nanti. Coz friendship never ends.

4 komentar:

Pipit Pito mengatakan...

semoga diterima semua amal baiknya dan diampuni dosa-dosanya :)

aku suka layout blogmu aaaaaaaaaakkkkkkk unguuuuuuu

diahcmut mengatakan...

aamiin :)

aku suka tulisanmuuuuuuuuuuuu...
tapi aku suka layoutmu yg dulu.

Santi Artanti mengatakan...

Mengharukan sekali. Makasih partisipasinya ya ciiin :)

diahcmut mengatakan...

aku menang, mbak?