Mereka Membuatku Menulis



 “Wah, sekarang sudah jadi penulis. Keren deh!"
“Selamat ya, sudah terbit novelnya”
                “Penulis, ajarin nulis dong. Kan kamu sudah bisa nerbitin buku”
                “Halah, baru juga nerbitin novel tipis gitu. Paling-paling ga laku”
                “Kok tipis bukunya? Mahal pula!”
                “Ceritanya buat anak-anak ya mbak? Kenapa ga bikin yang remaja atau dewasa aja sih?”

Beragam ucapan orang tentangku dan tulisanku. Ada yang memuji, ada yang mencibir. Ada yang senyum manis dan tulus, ada yang tersenyum getir dan pahit. Namun tak banyak orang yang tahu, siapakah orang di balik kecintaanku pada dunia tulis menulis. Banyak orang mengira, aku menulis karena bergaul dengan komunitas kepenulisan. Ya, ada benarnya sih. Tapi, komunitas penulis merupakan pijakan selanjutnya setelah peletakan batu pertama (berasa bangun gedung baru gt). Jangan kaget jika aku menceritakan tentang sosok yang meletakkan batu pertama dan membuatku mengenal serta menyelami dunia kepenulisan. Dia bukan penulis terkenal, dia belum punya buku atau novel satu pun, dia tidak bekerja di dunia penerbitan, dia tidak ber-passion di kepenulisan, dan dia tidak tergabung dalam komunitas menulis manapun. So?
Aku memanggilnya Mas Din. Seorang sholeh berjenggot tipis dan santun. Masih sepupu jauh dan bertetangga denganku. Entah akunya yang kuper atau memang Beliau jarang di rumah, aku bahkan baru mengenalnya ketika aku SMA dan beliau sudah kuliah.
Waktu itu, aku amat sangat malas sekali mengikuti kegiatan organisasi kepemudaan di kampungku. Alasanku tetap bertahan di karang taruna adalah orang tuaku yang merupakan tokoh masyarakat. Hampir setiap pertemuan rutin, kehadiranku hanya datang, duduk, ngemil, diam dan pulang. Aneh memang, hidup di kampung tapi ga kenal sama tetangga sendiri. Tidak banyak teman yang aku punya. Hanya teman masa TK dan teman se-RT saja yang aku kenal.
Hingga suatu ketika, tak dinyana tak diminta, aku dimasukkan ke dalam pengurus, khususnya keagamaan. Nah, ini awalnya aku mencintai karang taruna. Divisi ini mempunyai program yang keren dan banyak. Salah satunya pembuatan bulletin kampung. Ya, hanya selembar kertas penyebar ilmu. Aku ditarik masuk ke dalam redaksi. Kala itu, sangat pantas sekali jika aku disebut pupuk bawang atau kintilan saja. Karena selain paling kecil ingusan dan ga mudeng apapun, aku sangat pendiam dan pasif (lah kenapa sekarang berubah jadi brutal gini ya?). 
Tapi, Mas Din memberiku kepercayaan sehingga aku pun mencoba move on  di dunia perbuletinan. Awalnya sekedar nulis artikel ringan, puisi atau jadi ‘reporter rahasia’ yang menyimak setiap obrolan hangat di kampung. Lama-kelamaan dipercaya menulis Tsaqofah dengan konten yang lebih halus, tegas dan berisi, sesuai tema bulan itu. Memang di awal-awal aku sangat malu dengan hasil tulisanku yang amat sangat  nggilanik ga nggenah. Namun, ada rasa bangga dan bahagia ketika tulisan itu dibaca orang lain, mereka tersenyum dan mengantongi ilmu baru. Rasanya luar biasa. Sama seperti perasaanku ketika pertama kalinya (dan satu-satunya), puisiku dimuat di Koran lokal. 
Adiktif, aku ketagihan menulis.
Selain Mas Din, ada mas Bah, mas Sigit, mas Umar, mbak Alvi, mbak Eni, mbak Roh, mas Topik, mbak Ika. Semuanya menganggapku adek kecil yang harus disayangi dan diajari macam-macam, termasuk belajar bersahabat. Mas Bah dengan sabar mengajariku adobe Pagemaker (sekarang udah diganti InDesign, dimana aku masih grotal-gratul pegangnya T_T). Selain itu juga mengajari tata tulis yang baik dan chruncy. Juga orang yang paling sabar menampung curhatku tentang komputer semeleketeku. 
Ada mas Sigit yang memberikanku majalah-majalah ehem...agak berat. Mengajariku menjadi pribadi yang bermanfaat dengan ngajar di TPQ. Mas Umar dengan segala keceriaannya, selalu saja menjadi orang paling care. Ada mbak Roh yang mengajariku istiqomah bersama jilbab. Mbak Eni dan mbak Alvi, dua kakak hebat ini selalu ada di kala aku nangis ataupun tertawa. Di saat butuh tulisan keren, mereka akan membantu meski belum pernah iikut pelatihan menulis apapun. Mas Topik, ini nih orang paling gokil yang keren abis. Mbak Dokter Ika yang cantik, orang yang menjadi panutanku. sosok sempurna di mataku. Cantik, pinter, baik, rajin sholat, suka nraktir, pokoke keren.
Di redaksi bulletin ini, aku benar-benar mengenal bagaimana beratnya perjuangan mengejar deadline, bagaimana rasanya tulisan kita dibuang ke tong sampah oleh pembaca, bagaimana menghadapi kritikan, gunjingan dan cemoohan (maklumlah hidup di kampung). Namun, di tengah kesemrawutan yang terjadi di kampung, kami tetap berkomitmen untuk bersahabat. Tak jarang kami jalan-jalan dan makan-makan, touring ga jelas, atau sekedar rapat rutin yang berujung curhat-curhatan :D. Kadangkala, konflik kecil terjadi karena perbedaan sudut pandang atau sekedar salah paham. Persahabatan mengajarkan kami keikhlasan menerima perbedaan karakter, dan kesabaran dalam memahami satu sama lain.Dan merekalah yang membuatku memijak pada batu kepenulisan yang lebih besar sekarang ini. Meski aku sudah menulis sejak SD (bikin puisi buat ibuk), tapi kecintaan itu terbit karena adanya persahabatan ini. Aku suka menulis apalagi menuliskan persahabatan.
Ada pertemuan tentu berujung perpisahan. Meski sudah regenerasi, persahabatan keredaksian itu tak pernah sama. Hal yang paling aku takutkan saat itu adalah pernikahan. Ya, ketika salah satu dari kami menikah, otomatis dia akan lepas dari tanggung jawab di organisasi. Keluar dari kampung atau lebih tepatnya mengarungi samudra rumah tangga. Dan hal itu benar-benar terjadi. Mas Din menikah pada tanggal 7 bulan ke-7 tahun 07 dan aku mengantarnya dengan hati kecut sekaligus senang. Bukan karena patah hati, tapi takut kehilangan kakak yang memang belum pernah aku miliki sejak lahir. Actually, aku senang karena beliau telah menggenapkan separuh agama. 
Dan semua personil redaksi bulletin itu telah berkeluarga, except me, of course. Aku kesepian, sangat kesepian. Ketika semuanya sibuk dengan urusan masing-masing dan aku pun begitu, tapi jauh dalam lubuk hati, aku yakin merindukan kebersamaan itu. coz friendship never ends.

5 komentar:

Anonim mengatakan...

Kebersamaan itu berawal dari pertemuan, dan akan berakhir dengan perpisahan. alangkah indahnya jika waktu yang sangat sebentar itu ditoreh dengan sesuatu yg bermanfaat,
karna sampai kapanpun ia tidak akan pernah kembali seperti dulu. hanya torehan2 itulah sebagai kenangan tak terlupa yang bisa kita ceritakan ke generasi berikut anak cucu kita kelak

Salut buat penulis a.k.a Cmut. dulu seorang yang culun, kuper dan ndeso sekarang dah bisa menunjukkan gigimeretas karya-karyanya

Anonim mengatakan...

Kebersamaan itu berawal dari pertemuan, dan akan berakhir dengan perpisahan. alangkah indahnya jika waktu yang sangat sebentar itu ditoreh dengan sesuatu yg bermanfaat,
karna sampai kapanpun ia tidak akan pernah kembali seperti dulu. hanya torehan2 itulah sebagai kenangan tak terlupa yang bisa kita ceritakan ke generasi berikut anak cucu kita kelak

Salut buat penulis a.k.a Cmut. dulu seorang yang culun, kuper dan ndeso sekarang dah bisa menunjukkan gigimeretas karya-karyanya

diahcmut mengatakan...

mas bahtiaarrrr, ai mis yuuuuu...hahaha
daku jadi begini berkat kamu juga. terima kasih banyak, kakakku :)

Anonim mengatakan...

mbak c-mut emang keren dah...
aku ngefans hloo mbak, haha:D

diahcmut mengatakan...

kamuh siapah eeaa?
makasih loooo :)
*merona